Ini tahun terakhir Dodi bisa mengawasi Ratri dalam perjalanan ke sekolah dari rumah. Tahun depan, dia sudah kuliah dan harus pindah ke luar kota. Ratri akan berjalan sendiri ke sekolah dari rumah. Jarak sekolah dengan rumah hanya sekitar 10 menit jalan kaki. Tapi jalan raya cukup ramai. Dodi masih sering cemas memikirkan kenyataan Ratri yang tak kunjung berubah dari kecerobohannya.
Ratri berjalan menuju kelasnya, saat berbelok. Brak, bruk. Dodi menepuk keningnya. Adiknya menabrak bu Rani yang berjalan membawa setumpuk berkas hasil ulangan harian.Â
"Aduh Ratri, hati-hati kalau jalan" Ibu Sari nampak kesal sekali. Pagi-paginsudah ada ditubruk muridnya.Â
Cepat-cepat Dodi menyusul Ratri dan menolongnya mengumpulkan kertas hasil Ulangan yang berceceran. "Maaf Bu Sari, Ratri tidak lihat"Â
Ratri cepat-cepat mengambil kertas-kertas yang berserakan di lantai koridor menuju kelasnya. Dengan bantuan Dodi, swmua kertas ulangan segera terkumpulkan lagi dan diserahkan ke bu Sari.Â
Dodi menatap Ratri tapi tak berkata apa-apa. Dia yakin kalau berucap satu kalimat saja, mata Ratri akan banjir. Jadi ditahan mulutnya dari segala kata.Â
Bel istirahat pertama menandakan pelajaran Biologi di kelas Dodi berakhir. Tanpa ragu melangkah ke perpustakaan. Ada hal yang terus mengganggu pikirannya. Dua peristiwa pagi ini berkaotan dengan Ratri, mendadak mengusiknya. Dodi memang sangat sayang sama Ratri, namun sering sulit dia ungkapkan dengan kata-kata. Yang paling sering kata-kata marah karena kecerobohan Ratri yang hampir tidak tertolong itu.
Sesampainya di perpustakaan, Dodi langsung menemui Pak Adi, pustakawan handal sekolah mereka.Â
"Selamat pagi pak Adi" sapa Dodi sopan.
"Selamat pagi Dodi, wah tumben langsung menuju tempat bapak. Biasanya kamu kan langsung berjalan menuju rak-rak buku. Ada yang bisa bapak bantu?"
Dodi tersenyum. Ketahuan langsung dia ada maunya, menghampiri pak Adi di depan komputernya. Berpikir sejenak, urung niatnya mencari buku tentang mengatasi sikap ceroboh. Pak Adinpasti langsung tahu kalau itu tentang Ratri.