Selamat malam, Coach.. Semoga Anda selalu berada dalam lindunganNya.. Bagaimana kabar Anda? Semoga baik-baik saja, meski sekitar tiga jam lalu Anda (dan ratusan juta orang lainnya) sedang berdebar-debar sekali jantungnya...
Sebelumnya perkenalkan, nama saya Wisnu Aribowo, mahasiswa jurusan matematika tingkat II di Universitas Negeri Jakarta. Saya memang sedikit ragu Anda akan membaca surat ini pada akhirnya, karena jelas Anda tidak follow akun kompasiana saya.. Kalaulah ada kerabat Anda yang ternyata ada follow saya, maka belum tentu ia membaca tulisan ini. Kalaulah dia membaca, belum tentu dia akan menyampaikannya pada Anda. Dan kalaulah dia menyampaikan, belum tentu Anda akan tertarik dengan tulisan ini. Dan kalaulah dalam imajinasi saya yang terliar, Anda sedang browsing dan entah kenapa internet Anda rusak dan mengarahkan jendela anda ke tulisan ini, Anda belum tentu bisa mengerti sepenuhnya tulisan berbahasa Indonesia ini...
Saya, dengan sepenuh hati saya, dengan segenap rasa cinta saya, mengucapkan TERIMA KASIH kepada Anda dan seluruh jajaran staf Anda yang telah bekerja selama genap empat minggu terakhir. Anda benar-benar menghidupkan lagi persepakbolaan Indonesia (yang sudah sejak entah kapan selalu layu dan ada saja masalahnya). Anda berhasil menghimpun tidak hanya 20 pemain yang Anda bawa ke turnamen, tetapi juga jutaan rakyat Indonesia yang lain untuk bersatu dan memberi dukungan yang sangat luar biasa kepada tim nasional kita. Selama lebih sepuluh tahun saya mengikuti perkembangan persepakbolaan, baru kali ini saya merasakan euforia yang luar biasa dari masyarakat Indonesia. Sebuah "rasa memiliki" yang selama ini tidak pernah muncul sekarang ada dan sangat nyata. Boleh diuji, saya berani jamin. Cobalah saat pertandingan kita berlangsung, ada yang keluar keliling ke tetangga, tengok televisinya sedang menyetel apa. Mungkin tidak sampai 1 dari 10 yang tidak menghidupkan televisinya untuk nonton timnas kita...
Oya, saya bilang tadi 10 tahun ya? Memang selama itulah kurang lebih saya ikut memerhatikan perkembangan sepakbola kita. Saya nonton ketiga final kita di Piala AFF (dulu Piala Tiger) sebelumnya. Saya selalu nonton Persija (karena saya orang Jakarta) kalau memang jadwalnya tidak bentrok dengan kuliah saya, atau partai Liga Super yang lain (meski banyak yang malas nonton liga indonesia, nggak mutu katanya). Saya juga selalu antusias menyaksikan timnas kita dalam kompetisi apapun, entah Pra Piala Dunia, SEA Games, atau piala tiger; meski saya selalu disuruh bersabar karena memang kebanyakan kalahnya.
Tapi saya berani bilang, Pak, permainan timnas kita tahun ini jauh lebih luar biasa dibanding tahun-tahun sebelumnya. Saya bahkan berani bilang kita itu pantas juara... Bukan hanya karena tim lawan kita pakai satu cara yang kurang terhormat, lebih dari itu saya berani bilang seperti ini karena kita memang main lebih baik! Hanya takdir langitlah yang tidak mengizinkan kita membawa trofi itu pulang ke Jakarta.
Mudah saja bila Tuhan ingin memasukkan penaltinya Firman Utina tadi, bukan malah memelesetkan kaki Maman hingga akhirnya membuat kesalahan dan berujung pada gol Safee Sali. Kalau itu yang terjadi, 3-0 buat kita, perpanjangan waktu. Dan dengan determinasi tinggi seperti itu, jangan Malaysia, saya yakin Korea Selatan pun bisa dikalahkan dalam 2 kali 15 menit, Coach. Tapi biarlah ini menjadi pelajaran buat kita, bahwa langit ingin kita tidak takabur, belum apa-apa sudah menyombongkan diri. Mungkin juga ini peringatan kepada para politikus yang memanfaatkan keteneran tim Anda untuk cari muka. Mereka itu jangan-jangan offside saja tidak tahu artinya apa, lantas tau-tau tiada hujan maupun angin langsung bicara tentang teknik bak pengamat ahli saja.
Tadi saya bilang saya menyaksikan tiga final kita sebelumnya, Pak. Dan saya berani bertaruh bahwa ini adalah final terbaik kita. Kita tidak pernah benar-benar terlihat akan memanangkan final itu sebelumbya, mungkin hanya di 2002 kita sedikit main lebih baik (kalah adu penalti dari Thailand), selebihnya pada 2000 (kalah 1-4 dari Thailand) dan 2004 (kalah agregat 2-5 dari Singapura) kita benar-benar tidak memiliki hal yang kita rasakan dalam 4 minggu ini. Sebuah permainan cantik yang rasanya sempat hilang beberapa tahun belakangan. Anda juga hebat dalam menyeleksi pemain, dari skuad sebelumnya yang isinya kebanyakan pemain Persija semua, Anda memasukkan nama-nama seperti Ahmad Bustomi dan Muhamad Nasuha yang sebelumnya hampir tidak pernah terdengar oleh mereka yang tidak menyaksikan Liga Super. Plus dua pemain naturalisasi yang memberi warna baru. Oya, satu lagi, saya senang Anda tidak sekadar ambil pemain seperti yang Singapura atau Filipina lakukan. Meski warga baru, tapi mereka tetap memiliki nasionalisme.. Mereka bahkan ikut menyanyikan lagi Indonesia Raya, tidak seperti pemain naturalisasi lainnya.
Tahun ini mungkin belum jadi milik kita, Pak. Tapi seperti dosen saya katakan, "masih banyak lapangan untuk mengukir prestasi". Anda harus tetap mempertahankan permainan Indonesia yang seperti ini nanti untuk SEA Games, pra Piala Dunia, Piala Asia, dan AFF periode esok. Kita balaskan dendam kita kepada negara tetangga sebelah yang tidak tahu malu itu. Dan semoga saat kesempatan berikutnya itu datang, kita sudah lebih dewasa dan memiliki kerendahan hati. Politikus kita pun semoga sudah berhenti melakukan politisasi sepak bola, sehingga Tuhan akan lebih memudahkan kita nantinya...
Tetap semangat, Coach. Keep up the good work!
Jakarta, 29 Desember 2010.
Pukul 22.11