Selepas shalat magrib tadi wajahnya nampak seperti dahulu, raut wajah yang dia tawarkan setiap kali melihat anaknya akan pergi ke tempat menuntut ilmu.
Puluhan anak kecil lari bersalaman padanya, hal yang tak lazim lagi. Mungkin karena anak kecil merasa senang dan ramah sekali saat melihatnya, bahkan saat saya menulis ini, puluhan anak lewat di depan rumahku, teriakan kata "ayah" keluar semua dari mulut anak tak berdosa itu, semoga sapaanya yang ditawarkan anak itulah adalah doa.
Seperti biasa, tangannya menjadi tangan pertama yang bersandar di jidatku, bukti penghargaan ku padanya.
Perlahan ia naik tepat di belakangku, lalu diam beberapa saat. Tengan perjalan dia memulai pembahasan, memecah seketika keadaan, nada sedih mulai keluar dari bibir kecilnya yang mulai kehilangan gigi akibat sakit yang dia deritanya.
"Kalau matika nanti nak, kuburkan ka di pemakaman mandiri dan shalat kan aku nak di mesjid depan kalau bukan hari pasar dan shalatkan ka di masjid Al-musafir kalau hari pasar i" menutup katanya dengan tangisan panjang.
Kata yang menikam, seluruh jiwaku. Memaksa indraku untuk bekerja lebih kencang dan memaksa otakku terus menafsirkan serta mendoakan.
Doaku yang sederhana, Tuhanku yang maha pengampun lagi maha pemberi, aku bersaksi di hadapan mu di perantara magrib dan isya yang kau ciptakan ini, sungguh ayahku sama seperti matahari, bulan dan bintang yang kau ciptakan, dia telah melaksanakan tugasnya dengan baik, menjadi penerang bagi anaknya disiang dan malam hari.
Tuhanku raja dari segala raja, niscaya sucikanlah ayahku di dunia dan akhiratmu kelak selamatkan ia dari segala siksaanmu dan jadikan orang yang disayangi menjadi bermanfaat. Aminn
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H