Mohon tunggu...
Aria Y
Aria Y Mohon Tunggu... -

berbagi ide, cerita, informasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Intelektual Karir

22 April 2014   13:37 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:21 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Istilah itu saya dapatkan kebetulan ketika membaca buku Cak Nun “Slilit Sang Kyai”. Istilah yang saya pun tidak tahu apa saya benar-benar tahu maknanya. Tapi temuan Cak Nun tentang “Intelektual Karier” yang tidak jauh dengan yang juga saya alami di lapangan ini sungguh sangat menarik.

Alkisah diceritakanya dalam buku bahwa seorang yang katanya “intelektual” tersebut sedang mengikuti seminar tentang kemiskinan se dunia, tentang Afrika,  Asia dan pinggiran Amerika. Seminar tersebut sangat sukses. Mereka menginap di Hotel kelas A, makan makanan mewah bahkan minum wine. Setelah selesai, mereka mengemasi koper, berpelukan dan pulang, sementara tidak ada perubahan hidup yang signifikan dari orang-orang yang mereka bahas tersebut. Begitulah gambaran intelektual karier oleh Cak Nun.

Sejalan dengan paradoks “intelektual” yang tidak tahu atau tidak mau tahu tentang kondisi sosial lingkungan mereka saat ini, saya melihat bahwa, ya, di dunia profesi pendidikan perguruan tinggi kita saat ini sepertinya memang dihidupkan dengan sistem semacam itu.

Penelitian misalnya, bukan rahasia lagi kalau merupakan tambang  bagi “Intelektual Karier”. Mengasah keilmuan dan menguji hipotesis bagian dari klise, karena sekarang  yang ada adalah proyek. Ia bukan lagi bagian dari Tri Dharma Pendidikan, tetapi lebih praktis dari itu, sekedar jenjang pijakan keprofesian. Apa isu-isu dan ide-ide tersebut begitu luar biasa untuk diperjuangkan, sehingga para “Intelektual Karier” ini bersedia sikut-sikutan sehingga meninggalkan “etika intelektual”mereka, saya tidak tahu.

Saya kebetulan berkecimpung di dunia ilmu alam dan di dunia saya yang sempit dan kecil ini saya menemui banyak hal yang semoga di luar sana tidak tergeneralisir. Keprihatinan saya mengenai betapa jauhnya para “intelektual” perguruan tinggi ini (tidak semua) dari (sekadar) isu-isu sosial riil di masyarakat. Di bidang keilmuan saya terutama, dikotomi tersebut sangat nyata. Saya juga tidak menyalahkan seutuhnya, karena keilmuah kita memang dibentuk secara mendalam bukan meluas, tidak berarti setiap pengajar di perguruan tinggi tahu tentang segala hal, tetapi bukan berarti kita dapat memalingkan muka dari isu sosial tersebut. Isu-isu sosial adalah teman makan kita setiap hari, yang kita jumpai di setiap persimpangan jalan, sungguh
aneh bagi saya ketika kepedulian itu hilang dan yang ada hanyalah riil yang mereka hadapi di tumpukan kertas.

Pengajar-pengajar kita banyak dilahirkan dari mahasiswa yang tekun menghadapi textbook dan pintar dalam mengerjakan ujian sehingga mendapat IPK tertinggi-yang waktunya habis tak sempat menengok lingkungan sekitar, atau yang tidak terlalu rajin tapi punya kemampuan untuk menambah gelar-yang saat ini sangat diinginkan oleh sistem, atau yang karena kebutuhan ekonomi setiap hari habis pilihan tercebur ke dunia perguruan tinggi sehingga disibukan rutinitas keprofesian. Hal tersebut tentunya bukan menjadi apologi kita untuk “tidak tahu” atau “keengganan untuk mau tahu” atau kesemuanya tersebut barangkali justru  menjauhkan kita dari kontekstual dan hanya menjadi ahli tekstual. Sayangnya, kita saat ini banyak disajikan orang-orang yang pintar berdebat dan bersilat lidah membandingkan tulisan hitam di atas putih, membuat proyek dan mengikuti seminar menjadi sekedar rutinitas tanpa memahami konteks sosial sehingga tidak tahu arah visi dan misi keprofesianya. Kehilangan konteks sosial ini juga yang membuat mereka kehilangan kesadaran sebagai bagian dari anak tangga peradaban. Kalau dari yang memegang kemudi saja tidak tahu arahnya, bagaimana jadinya penumpangnya?

Keprihatinan saya bertambah ketika salah seorang senior saya yang sudah mengajar 20 tahun dan sedang mengambil studi doctor (S3) nya di salah satu PT Negeri di Indonesia meminta bantuan untuk mengerjakan tugas filsafat dari salah seorang profesornya. Membantu mencari atau men-translate jurnal saya rasa bukan masalah, tetapi filsafat? Filsafat adalah lambang berfikir ilmiah. Filsafatmu lah aksiologi profesimu. Filsafat adalah lambang kebebasan berfikir yang diperjuangkan hingga Socrates di hukum mati, yang diagungkan nenek moyang moyang kita hingga lahirnya universitas-tempat mereka berbusa-busa menaruh ide ideal atau mengumpulkan uang makan. Dan sampai detik ini mereka tidak kenal filsafat?

Mungkin saya terlalu berlebihan. Ya, saya terlalu “lebay” untuk dunia kita dimana karya tulis ilmiah bisa dibeli, gelar bisa diperdagangkan, ijazah bisa dicetak sendiri. Karena saya salah seorang pengajar juga di perguruan tinggi, semua yang saya kemukakan tadi tentunya menjadi autokritik bagi saya. Kalau memang system yang ada pada kita saat seperti ini adanya, saya kira, paling tidak mulai dari pikiran kita bergerak
untuk menyadari bahwa ada hal-hal yang harus kita benahi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun