*Soni Ariawan
Cukup lama fenomena Ahok mencuat di publik lantaran ucapannya di pulau Seribu tentang QS Al Maidah ayat 51. Sampai sore tadi, di salah satu grup WhatsApp yang saya ikuti juga sedang santer membicarakan Ahok. Sebagian besar (kalau tidak ingin menyebutnya seluruh) umat Islam merasa marah dengan ucapan Ahok. Versi umat Islam yang marah ini karena Ahok menyebut QS Al Maidah dipake untuk membohongi. Baik pada video singkat yang viral disebar Buni Yani maupun yang utuh, kalimat Ahok tersebut difahami sama bahwa ada unsur penistaan kitab suci umat Islam dan menuduh ulama yang menyebarkan kandungan QS Al Maidah ayat 51 itu berbohong. Itulah pemahaman teks dan konteks umat Islam yang mengklaim Ahok melakukan penistaan agama.
Ranah Teologis
Terlepas dari perdebatan tafsir QS Al Maidah ayat 51 pada salah satu kata, apakah bermakna pemimpin, wali atau teman dekat, ada hal substansi yang penting untuk dibahas. Bahwa mengeluarkan kata-kata bernada negasi tentang sebuah agama, apalagi oleh bukan pemeluk agama itu sendiri, akan sangat sensitif. Terlepas apakah ada atau tidak adanya niat, sengaja atau tidak sengaja, ketika kata sudah mulai terlontar ke publik, maka bersiaplah untuk menerima respon dari publik sebagai audiens. Karena inilah komunikasi. Kita tidak bisa berkilat seperti yang dikatakan Nusron Wahid bahwa Ahok yang paling tahu apa yang dia ucapkan sehingga kesannya orang yang mendengar perkataan Ahok tidak berhak memaknai apa yang dikatakan Ahok. Jika demikian maka ini bukan komunikasi. Karena sejatinya komunikasi ada pembicara yang mengucapkan dan penerima (audiens) yang mendengar untuk selanjutnya akan direspon dan dimaknai oleh audiens tersebut.
Tetapi saya tidak ingin berpanjang kata berbicara tentang teori komunikasi. Substansi yang ingin saya sampaikan adalah Ahok sudah mencampuri ranah teologis umat Islam. Bahwa perdebatan tentang QS Al Maidah di kalangan umat Islam itu sendiri memang ada, tetapi prinsip perbedaan dalam Islam yang sifatnya cabang adalah saling menghormati, tidak memaksakan dan kemudian menyalahkan yang lain. Ini sudah menjadi ketentuan dalam agama Islam. Tentu akan sangat aneh jika ada orang non muslim yang menyalahkan salah satu pihak yang meyakini akan tafsir tersebut. Dalam konteks Ahok, dia seolah masuk dalam perbedaan penafsiran tentang QS Al Maidah 51 dan parahnya lagi, dia menyalahkan kelompok yang meyakini bahwa QS Al Maidah itu berbicara tentang kepemimpinan dimana dilarang memilih pemimpin non muslim. Sekali lagi, ini bentuk sikap mencampuri ranah teologis umat Islam. Semestinya, Ahok tidak membawa-bawa agama tertentu dalam berbicara, khususnya di ranah publik terlebih dia sebagai pejabat publik.
Oleh karena itu, menjadi sangat wajar kemudian jika banyak umat Islam yang merasa sangat tersinggung dengan perkataan Ahok tersebut, dan dianggap sebagai perilaku penistaan terhadap kitab umat suci agama Islam sehingga dilaporkan ke pihak berwajib untuk diproses secara hukum. Kemudian terjadilah demonstrasi di berbagai tempat akibat kemarahan yang tidak terbendung. Kemarahan di sini tentu bukan kepada Ahok sebagai pribadi dengan berbagai backgroundnya, tetapi semata-mata karena perkataannya yang menyinggung keyakinan umat Islam. Bukan hanya Ahok, tetapi siapa saja yang berkata seperti itu, tentu respon umat Islam yang tersinggung akan seperti ini juga, melaporkannya ke pihak berwajib untuk diproses secara hukum, demonstrasi besar-besaran untuk mendesak penegakan hukum yang adil dsb. terlebih orang yang berkata itu adalah pejabat publik yang seharusnya memberikan teladan kepada masyarakat. Jadi, sampai di sini sebenarnya sangat wajar. Jika timbul perbedaan cara menyikapi masalah antar umat Islam sendiri, ada yang demonstrasi mendesak penegakan hukum yang adil dan ada yang tidak membenarkan demonstrasi, maka cukup ini menjadi perdebatan internal tentang bab hukum demonstrasi dalam Islam tanpa menyalahkan satu sama lain.
Ranah Politis
Ada potensi memang para oknum yang memanfaatkan kondisi ini. Oknum itu bisa saja berasal dari musuh politik Ahok yang memanfaatkan kemarahan umat Islam untuk melemahkan karakter Ahok. Bentuknya mungkin bisa saja semacam penghasutan agar kemarahan umat Islam terdistorsi yang tadinya semata-mata karena ghirah atau semangat untuk membela agama Islam karena ada yang menistakannya, menjadi kebencian kepada Ahok sebagai individu dan Ahok sebagai Gubernur Jakarta. Kemudian mengaitkannya dengan masalah-masalah di DKI Jakarta yang diklaim sebagai bentuk kegagalan Ahok memimpin Jakarta. Jika demikian yang terjadi, maka jelaslah ranah teologis yang tadinya murni tercampur dengan ranah politis yang menghilangkan kemurniannya dan yang menang adalah oknum yang “mamanfaatkan” kemarahan umat Islam.
Di sisi lain, ada orang yang mengeneralisir bahwa aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan umat Islam bermuatan politis. Muatan politis ini kemudian diberitakan oleh media sehingga terkesan bahwa aksi demonstrasi ini mengancam keamanan dan ketertiban bahkan toleransi antar umat beragama. Melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa jika hanya semata-mata karena muatan politis, maka tidak mungkin umat Islam begitu banyaknya tumpah ruah di berbagai daerah melakukan demonstrasi. Karena memang substansi demonstrasinya adalah substansi teologis atas dasar ketersinggungannya akibat perkataan Ahok yang dianggap menistakan agama dan mendorong agar proses penegakan hukum dilaksanakan secara adil. Saya rasa ini hal yang sangat wajar dilakukan oleh umat Islam dengan landasan teologis tersebut. Maka tidak heran jika mereka semua terpanggil untuk membela agamanya. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap ada kemungkinan oknum dari pendukung Ahok yang sengaja melakukan provokasi agar aksi yang dilakukan umat Islam sangat terlihat muatan politis. Dengan begitu publik tidak akan simpati lagi kepada umat Islam justru akan memposisikan Ahok sebagai korban musuh politiknya. Sekali lagi kemungkinan ini bisa saja ada atau tidak. Saya serahkan analisanya kepada masing-masing kita.
Tak Perlu Khawatir
Kepada saudara saya yang non muslim, saya ingin mengatakan bahwa agama Islam itu agama yang sangat toleran. Buktinya, selama ini kita masih hidup rukun berdampingan di Indonesia. Islam juga menghormati hukum yang ada di negara kita. Apalagi Pancasila sebagai dasar Indonesia.