Senja, aku masih duduk di tempat yang sama, tempat di mana kita pertama kali bertemu. Masih kuingat masa-masa itu, engkau menaiki sepeda ontel tua milikmu, menggunakan jilbab putih bermotif bunga matahari. Engkau terjatuh di depan gerbang perpustakaan saat menghindar dari seekor kucing yang tiba-tiba menyeberang jalan, kemudian aku datang dan membantumu berdiri, dan engkau mengucapkan kata-kata yang masih kuingat hingga saat ini.
‘Syukron, Jazaakumullah’
Aku memintamu untuk mengulangi kalimat itu, karena untuk pertama kalinya ada orang yang mengucapkan kalimat itu kepadaku, dan setelah tiga kali mengulangi, barulah engkau menjelaskan bahwa kalimat itu adalah ucapan terimakasih dan semoga Allah membalasnya. Aku tersenyum mendengar kalimat itu, singkat dan penuh makna.
Setelah kejadian itu, kita sering bertemu meski tidak pernah berjanji untuk bertemu, kita bertemu di tempat di mana sekarang aku sedang duduk, di depan perpustakaan umum daerah. Sebelum bertemu denganmu, aku memang sudah sering mengisi waktu luang dengan membaca buku di sini, aku juga masih ingat saat engkau mengatakan bahwa
‘Perpustakaan adalah persembunyian terindah untukmu’
Kemudian setelah mengucapkan kalimat itu, engkau kembali membaca buku tentang psikologi perkembangan, sedangkan aku membaca buku tentang sejarah. Tidak banyak literatur yang dapat aku temukan di Perpustakaan daerah ini, akan tetapi entah mengapa, acap kali aku datang ke Perpustakaan hanya untuk melihatmu tenggelam bersama tumpukan buku-buku. Memandangi wajahmu yang dibalut dengan kain yang kalian sebut ‘Hijab’, kadang aku juga sering memperhatikanmu diam-diam dan saat mata kita beradu pandang, aku akan segera mengalihkan pandanganku ke arah lain.
Sudah tiga bulan rasanya aku tidak pernah melihatmu datang ke perpustakaan ini, tidak pernah lagi kulihat sepeda ontel tua milikmu yang engkau beri nama ‘Rahmat’. Katamu, sepeda itu sengaja diberi nama ‘Rahmat’, karena dia merupakan sebuah anugerah dari-Nya. Dengan sepeda itu, engkau bisa berkeliling kota, dan tak peduli akan panas teriknya matahari yang menyengat. Pakai sepeda itu bikin kita sehat katamu.
Terakhir kali kita bertemu saat kita berpapasan di sebuah ‘Gereja’, engkau dengan sepeda ontel kesayanganmu, kita tidak sengaja berpapasan dan aku menyapamu.
“hy Senja, mau kemana?”
Engkau tersenyum dan berhenti kemudian menjawab tanyaku.
‘Jafni, saya mau ke pasar beli beras’, kamu sendiri ngapain di depan gerbang ‘Gereja’?
Ah aku lupa dan tidak pernah memberi tahumu bahwa aku berkeyakinan Kristen Protestan, kita memang tidak pernah membicarakan hal itu.
‘Ini hari Minggu, jadi saya harus ke ‘Gereja’.
Engkau memandangku cukup lama, kemudian engkau pergi meninggalkan aku yang berdiri tegak di depan gerbang, engkau pergi tanpa menoleh ke arahku, engkau pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sejak itu, kita tidak pernah bertemu lagi, aku mencoba untuk bertanya ke pegawai perpustakaan, akan tetapi mereka juga tidak pernah melihatmu berkunjung ke Perpustakaan lagi.
Dan senja ini, saat pegawai perpustakaan mulai membersihkan perpustakaan, saat mereka sudah siap untuk menutup perpustakaan, aku masih berdiri di depan gerbang ini, berharap engkau akan datang dan menyapaku.
Senja, mengapa engkau pergi begitu saja
Engkau pergi membawa hatiku
Aku masih menantimu di setiap senja
dan berharap bertemu denganmu di suatu senja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H