Mohon tunggu...
Arian Sahidi
Arian Sahidi Mohon Tunggu... lainnya -

A Teacher

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keabadian

9 April 2012   06:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:50 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Sudah berapa kali khatam Al-Qur’an?” tanya Pak Ihsan ke Rahman, putranya yang baru pulang dari pesantren. “Hampir setiap bulan Rahman mengkhatamkan Al-Qur’an” jawabnya. “Alhamdulillah, berarti Rahman harus mengajarkan ilmu yang sudah didapat di pondok ke bapak. Bacaan Al-Qur’an bapak masih jauh dari kata sempurna.” “Insya Allah, Pak” “Selama di pesantren, kami diajarkan bagaimana cara membaca Al-Qur’an dengan baik oleh ustadz. Setiap ba’da maghrib, kami membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang terdiri dari sepuluh orang santri. Di setiap lingkaran tadi, ada seorang ustadz atau santri senior yang membimbing kami membaca Al-Qur’an. Para ustadz dan santri senior membimbing kami dengan penuh kesabaran. Rahman bahagia bisa masuk pesantren.” Pak Ihsan tersenyum bahagia mendengar cerita anak semata wayangnya. Tidak sia-sia dia menyekolahkannya ke pondok pesantren. Baru satu tahun Rahman menjadi santri, sudah banyak kemajuan yang dia dapatkan. Disela-sela waktu belajarnya, dia menyempatkan diri untuk menghapal Al-Qur’an. Sekarang dia sudah hapal juz 1 sampai 5, dan juz 30. Suaranya juga semakin indah saat melantunkan Ayat-ayat suci. Kebahagian apa lagi yang ia minta? Melihat putranya menjadi seperti sekarang ini rasanya sudah cukup membuatnya bahagia. Dulu, sebelum Rahman masuk ke pesantren, bapaknya selalu menjadi imam shalat malam di rumah. Mereka biasa bangun di sepertiga malam, kemudian shalat tahajud berjama’ah. Kini, Pak Ihsan menyadari bahwa kemampuan membaca Al-Qur’an anaknya lebih baik dari bacaannya, hapalan anaknya juga lebih banyak darinya. Dia mengizinkan putranya untuk menjadi imam. Air mata Pak Ihsan menetes saat ucapan salam setelah shalat itu diucapkan oleh putranya yang sekarang menjadi imam shalat keluarga Pak Rahman. Air mata sebagai ucapan syukur atas kesempatan yang telah Allah berikan kepadanya untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi putranya. Pendidikan yang membuat putranya menjadi semakin dekat dengan Allah Tuhannya. Setiap selesai shalat, untaian doa mereka panjatkan kehadirat Allah swt. Mensyukuri segala karunia yang telah Ia berikan, dan memohon perlindungan dari-Nya dalam tiap hembusan nafas. * Rahman sedang menikmati masa liburannya di rumah. Setelah satu tahun tidak pulang ke kampung halaman, kini dia bisa kumpul bersama keluarga. Sanak saudara banyak yang datang ke rumah menemui Rahman. Dia anak yang baik, sedikit pendiam, namun jika dia berbicara, kata-katanya menyejukkan siapa saja yang mendengarnya. Dia begitu dicintai oleh kedua orangtuanya, masyarakat yang ada di kampungnya, dan juga kawan-kawan sebayanya. Kepulangannya kali ini menambah kekaguman warga kepadanya. Tutur katanya yang santun, mudah senyum, dan mempunyai kepedulian yang besar dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Tubuhnya memang masih kecil, tapi dia berjiwa besar. Dia anak sholeh. Adzan shalat dzuhur berkumandang dari masjid yang ada di depan rumahnya, Rahman langsung menghentikan segala aktifitasnya, menunaikan seruan muadzin untuk shalat berjama’ah. Ia bergegas membersihkan anggota badannya dengan air wudhu. Pak Ihsan dan putranya pergi bersama-sama ke masjid. Selepas shalat, Rahman menyambut tangan Ustadz Qodim selaku imam shalat berjama’ah. Uztadz Qodim merupakan guru mengajinya sewaktu masih di sekolah dasar. “Nak Rahman, bagaimana kabarmu?” Ustadz Qodim menanyakan keadaan Rahman. “Alhamdulillah, saya dalam keadaan sehat wal’afiat. Bagaimana dengan Ustadz?” “Alhamdulilllah, sehat” Ustadz Qodim dan Rahman berbicara banyak hal. Pak Ihsan meninggalkan keduanya di masjid dan kembali melanjutkan kerjaannya di rumah. “Bagaimana kabar Mbah Syukur?” “Mbah syukur sudah meninggal dunia tiga bulan yang lalu ustadz” “Innaalillaahi wainnaa ilaihi roji’uun, Jadi sekarang siapa yang memimpin pesantren?” “Kiyai Taslim, menantunya Mbah Syukur” Tiga puluh menit berlalu, setelah berbincang banyak, keduanya kembali ke rumah masing-masing. Rahman kembali ke rumah dan membantu ayahnya memperbaiki atap rumah yang sudah mulai bocor. Ibunya sudah menyiapkan masakan kesukaannya sebagai menu makan siang. Sudah lama dia tidak menikmati masakan ibunya, nasi cah kangkung dan telur penyet kesukaannya dimakan dengan lahap olehnya. Ibunya tersenyum melihat putranya. “Dihabisin ya, ibu sudah masakin khusus untuk anak ibu yang sekarang sudah semakin sholeh. Semoga masakan ibu menjadikan anak ibu lebih semangat dalam menuntut ilmu” “Amin, ibu sudah makan?” “Tadi ibu dan ayah sudah makan duluan, kamu kan masih di masjid” * Panas terik, bus yang akan membawa Rahman kembali ke pesantren perlahan meninggalkan kampung halamannya. Ia berangkat sendirian. Ayah dan ibunya tidak bisa ikut bersama dengannya. Perjalanan dari Kebumen ke Surabaya memakan waktu kurang lebih Sepuluh jam. Dia tertidur lelap selama di perjalanan. Meski hanya sepuluh jam perjalanan dari rumah ke pesantren, tapi Rahman sudah bertekat akan pulang ke rumah satu kali dalam satu tahun. Dia ingin menuntut ilmu sebanyak-banyaknya di pesantren. Orangtuanya selalu menyempatkan diri berkunjung ke pesantren. Biasanya setiap habis ujian pesantren, orangtuanya datang menjenguknya. Setelah menempuh perjalanan, sekarang Rahman sudah berdiri di depan gerbang pesantren. Dia berhenti sejenak, menghirup sejuknya udara, menikmati semilir hembusan angin  dan menunggu temannya datang ke pintu gerbang. Dia tidak mampu membawa barang bawaan sendirian. Ibunya memberi bekal cukup banyak. Beras, kue kering, buah-buahan, dan buah tangan untuk teman-teman satu asrama dengannya. Sudah menjadi kebiasaan, setiap santri yang baru pulang dari kampung halaman, membawakan makanan alakadarnya untuk teman-teman yang ada di asrama. Ahmad dan Nizham, sahabat karib Rahman sekaligus teman satu kamar di asrama membantunya membawa barang-barangnya ke asrama. Kedua sahabatnya memakai sarung, peci dan baju koko. “Gimana liburan di rumah?” ucap Nizham. “Alhamdulillah sesuai rencana. Saya menghabiskan waktu liburan dengan membantu bapak dan ibu di ladang.” “Kalian bagaimana? Jadi ikut kajian khusus selama liburan?” “Iya, selama liburan kami belajar Nahwu dan Shorof” jawab Ahmad. “Wah, semakin pandai ni ilmu alatnya?” “Amin” Ketiganya memasuki asrama, mereka bertiga tinggal di kamar “Al-Munawwarah”. Setiap kamar yang ada di asrama mempunyai nama tersendiri. Di sebelahnya ada kamar “Muzdalifah dan Uhud”. Masing-masing kamar dihuni oleh sepuluh anak. Setiap kamar mempunyai ketua yang mengontrol kegiatan para santri. Ketua kamar merupakan santri senior. Teman-teman Rahman sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sedang tidur siang, membaca buku, menulis kaligrafi, dan ada juga yang hanya duduk menyendiri di pojok kamar. “Assalamu’alaikum” “Wa’alaikumussalam, ahlan wasahlan ya akhi” ucap kawan-kawannya berbarengan. Suasana hangat terjalin di antara mereka. Keakraban begitu tampak antara mereka. Kebersamaan mereka layaknya sebuah keluarga. Kebersamaan Rahman dengan teman-temannya menjadi salah satu  dari sekian banyak alasan yang membuat dia betah belajar di pesantren ini. Mereka berasal dari berbagai daerah dari pulau Jawa, bahkan tidak sedikit yang berasal dari luar Pulau Jawa. Berbeda suku, bahasa daerah, adat istiadat, menambah indah kebersamaan mereka. Esok hari, kegiatan belajar mengajar di pesantren akan kembali dimulai. Para santri sudah kembali berada di pesantren setelah menghabiskan masa liburan di rumah masing-masing. Tidak semua santri menghabiskan waktu liburan di kampung halaman, ada beberapa santri yang memilih untuk menetap di pesantren, mengikuti kajian rutin. Setiap liburan, biasanya ada kajian khusus untuk santri-santri yang tidak pulang. * Sudah hampir tiga bulan Rahman kembali ke pesantren. Ahmad, Nizham dan Rahman, ketiganya sering belajar bersama. Selama di pesantren, ada hari khusus bagi santri untuk berbicara Bahasa Arab dan Inggris. Setiap Senin dan Kamis, santri diwajibkan untuk berbicara menggunakan Bahasa Arab. Selasa dan Sabtu berbahasa Inggris, sedangkan di hari lainnya adalah hari bebas, santri diperbolehkan berbahasa Indonesia, Arab, maupun Inggris. Hari jum’at, tidak ada kegiatan belajar mengajar. Hari Jum’at adalah hari libur bagi para santri. Ahmad, Nizham dan Rahman pergi ke kali yang berada di dekat pesantren untuk mencuci pakaian. Setelah selesai mencuci pakaian, ketiganya kembali ke asrama. Ahmad dan Nizham memilih untuk pergi ke kantin Mbok Dijah membeli gorengan. Sedangkan Rahman memilih untuk beristirahat di kamar. Tidak ada yang aneh di hari ini, langit terlihat cerah, matahari masih tetap setia menyinari dunia, suara seorang qori sedang membaca Al-Qur’an di masjid pesantren. Para santri bersiap-siap untuk shalat Jum’at di masjid. Teman-teman sekamar Rahman sudah siap untuk menunaikan shalat jum’at. Nizham membangunkan Rahman yang masih tidur. Beberapa kali tubuhnya digerakkan, namun Rahman tak kunjung bangun dari lelap tidurnya. Ahmad juga mencoba untuk membangunkannya, namun Rahman masih tidak memberi respon. Matanya masih terpejam seolah-olah tidak merasakan apa-apa. Ahmad, Nizham dan yang lainnya saling berpandangan. Ada apa dengan Rahman? Nizham memegang urat nadi Rahman, tidak ada denyut nadi. Jarinya ditempelkan ke hidung Rahman, tidak ada hembusan nafas. Dia juga memeriksa detak jantung Rahman, namun jantungnya sudah berhenti berdetak. Semua santri yang ada di asrama terlihat panik. Ahmad berlari sambil menangis menuju ke klinik pesantren. Dia memberitahukan keadaan Rahman ke Dokter Iqbal. Dokter Iqbal datang dan memeriksa keadaan Rahman. Rahman masih tidak bergerak, matanya masih tertutup, dia terlihat begitu tenang dalam tidurnya. Suasana haru menjadi tumpah ketika Dokter Iqbal menyatakan bahwa, “Nak Rahman sudah tiada” Seketika itu juga, suara tangis memenuhi asrama. Mereka menangis karena kehilangan sahabat yang berhati mulia. Mereka juga masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Padahal, pagi tadi Rahman masih bisa bercanda bersama dengan Ahmad dan Nizham. Dan sekarang dia sudah tiada. * Suasana pemakaman Rahman di kampung halaman dipadati oleh warga kampung, sanak saudara, dan beberapa temannya dari pesantren. Ayah dan ibunya berusaha tegar menerima semua cobaan ini. Rahman, putra mereka satu-satunya kini sudah kembali kepada-Nya. Selamat jalan Rahman Engkau memang sudah pergi meninggalkan kami Namun, kebaikanmu membuatmu abadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun