[caption id="attachment_367685" align="aligncenter" width="370" caption="Darwati bersama kedua orangtuanya (www.solopos.com)"][/caption]
Sebagian besar lulusan SMA/SMK dan sederajat tentu mengidamkan bisa lanjut ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Tak terkecuali bagi seorang PRT. Darwati—gadis 23 tahun itu memiliki mimpi untuk bisa kuliah setelah lulus SMA, namun lagi-lagi masalah klasik menjadi penghalangnya—biaya. Setelah lulus dari SMA Muhammadiyah 5 Todanan, ia hijrah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Namun, hanya satu pekan di sana akhirnya dia pulang karena tidak betah.
Di kampung halamannya Desa Gunungan RT 002/RW 001, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Darwati bekerja di warung es campur hingga akhirnya dia pun bekerja menjadi PRT di rumah drg. Lely Atasti Bachrudin di Kabupaten Grobogan. Keinginannya berkuliah pernah didengar oleh majikannya hingga pada akhirnya Darwati diberi izin bekerja sambil berkuliah.
Dari mana Darwati bisa membiayai kuliah? Tentu dia menyisihkan sebagian dari gajinya sebagai PRT yang saat itu Rp.350.000/bulan. Kadang pula dia meminjam dana dari teman atau mendapatkan uang saku dari majikannya. Sehari-hari, dia harus menempuh perjalanan sejauh 50 Km untuk mencapai kampus. Wah, bahkan jaraknya lebih jauh dari kampus saya. Tak jarang pula dia harus nebeng dengan temannya ataupun menumpang bus.
Berkat kerja kerasnya selama ini—bekerja sambil kuliah—akhirnya Darwati menyandang predikat cum laude Jurusan Administrasi Negara Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang dengan Indeks Prestasi Kumulatif 3,68. Sebuah capaian yang luar biasa menurut saya.
Mahasiswa mana, sih, yang tidak ingin menyandang predikat tingkat dewa itu? Tentu, semuanya tak begitu saja kita dapatkan dengan cuma-cuma atau berleha-leha. Tekad yang dibarengi usaha keras menjadi faktor pendukung untuk mencapai predikat tersebut. Banyak dari kita (mahasiswa) yang masih nebeng hidup dengan orangtua atau hidup di kosan mengharap kiriman tiap bulan dari orangtua justru mengeluh jika diberi banyak tugas oleh dosen. Padahal, dengan diberinya tugas berarti kita telah memperoleh hak kita untuk belajar dan memperoleh ilmu pengetahuan di perguruan tinggi. Mikir, enggak, kalau kita telah mengeluarkan begitu banyak dana untuk pendidikan? Mengapa tidak dimanfaatkan?
Tentu kita tak mau rugi, dong. “Masa’ kita udah bayar mahal-mahal tapi jam kuliah dibatalkan terus?”. Kadangkala saya heran dengan celetukan sebagian teman-teman saya. Mereka malah bersorak kegirangan ketika dosen yang bersangkutan mengabari jika beliau tidak sempat mengajar pada hari itu. Bukan munafik, tapi sejujurnya saya merasa amat merugi. Pertama, saya ke kampus menumpang angkot dua kali atau ojek karena jarak rumah dari kampus lumayan jauh. Kedua, biaya SPP mahal. Ketiga, waktu saya terbuang begitu saja di perjalanan jika sampai di kampus tak mendapatkan kuliah. Jika saya tidak mendapatkan materi kuliah pada hari tersebut, ruginya tuh di siniiii!
Apa yang didapatkan Darwati sungguh luar biasa. Dia membuktikan bahwa pendidikan tidak hanya untuk mereka yang berduit. Bahkan, menurut referensi yang saya dapatkan, setelah wisuda dia masih ingin melanjutkan pekerjaannya sebagai PRT untuk sementara. Dia menjadi salah satu motivator saya untuk terus berusaha dalam hal apapun. Saya juga salut dengan teman-teman di kelas non-regular (kelas pekerja), mereka pun bekerja sambil kuliah. Bahkan merelakan hari Sabtu dan Ahad—hari yang seharusnya dijadikan hari libur dari segala kepenatan pekerjaan—tetapi digunakan seharian untuk berkuliah.
Sumber: www.solopos.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H