[caption id="attachment_306831" align="aligncenter" width="220" caption="dok.pribadi at Parai Beach,Bangka"][/caption]
Mendengar title di atas - mungkin saja- kita menginterpretasikannya sebagai hal yang negatif. Wajar saja, karena kita sering menganaloginya dengan ungkapan lain : muka tembok, berhati batu, kepala batu sebagai ungkapan yang merujuk pada hal yang negatif. Namun, saat ini saya sangat tertarik menggunakan parabel batu sebagai nasihat bagi diri sendiri. Semoga ini juga berguna bagi pembaca budiman.
Keinginan menulis parabel tentang batu semakin didukung ketika menemukan dokumentasi pribadi yang sedang bertengger di atas batu besar di lokasi wisata Pantai Parai, Bangka. Untuk sampai di puncaknya membutuh tenaga ekstra( halah…lebay!!) maklumlah bukan atlet pemanjat tebing. Hehehe...Semoga mendukung ya.
Sebagai mahluk sosial, kita sulit menghindar untuk tidak berinteraksi dengan sesama kita. Kalau ada di antara kita yang dengan mudah melakukannya , siap-siap saja mengurut dada karena kita akan dijuluki ansos,kuper, freak dll. Jadi , saya sarankan bersosialisasilah dengan luas dan luwes karena "cara itulah" yang memanusiakan kita.
Memanusiakan kemanusiaan kita melalui berinteraksi dengan sesama tidaklah mudah. Dengan karakter, kebiasaan, value , budaya beragam tentu saja memerlukan usaha yang keras untuk menyelaraskan persepsi agar dapat mulus bersinergi. Namun, usaha kita ke arah itu jangan sampai memudarkan identitas kita.
Nah…berikut ini adalah value yang bisa kita pelajari dari ketegaran sebongkah batu :
Batu adalah komponen yang sangat kokoh dan tidak mudah dihancurkan. Bila hujan dan panas adalah parabel dan cibiran, hinaan, dan makian, maka dengan hati yang setegar batu, semangat, impian , dan cita-cita kita tidak mudah dilunturkan. Langkah kita tetap akan menapaki the right path to achieve. Namun, kekokohan batu menyerah juga kepada tetesan air yang terus-menerus hingga membuatnya berlubang. Hal ini bukanlah paradoksal, melainkan sebuah nilai yang harus kita maknai. Bila tetes air yang jatuh secara intens itu diibaratkan teguran dan kritikan yang terus-menerus, maka kita harus membuka diri terhadapnya. Sekalipun kita marah dan menolaknya, tetapi si pengkritik itu tetap 'keukeuh sureukeuh" menasihati. Bisa jadi…ini sebagai pertanda bahwa mereka adalah teman sejati yang benar-benar berniat tulus.  Seorang kawan sejati tak akan diam melihat sahabatnya salah jalan.
Batu adalah komponen utama dalam membangun pondasi rumah. Semen, pasir ,air, kerikil adalah kawan lainnya. Untuk menjadi tembok yang kokoh, sang batu harus membaur dengan adukan pasir-semen-dan batu tersebut sehingga bersatu menjadi tiang dan tembok yang solid . Kesolidan itu dapat membangun sebuah rumah, gudang, atau gedung di atasnya. Nah…pelajaran yang terimplisit dari fenomena ini adalah: gak usah sombong kalau saat ini kita menjadi batu ( kasta lebih tinggi) karena kita tetap memerlukan pasir , kerikil, semen dan lain-lain untuk bisa menjadi " sesuatu".
Cerita tentang tiga anak babi membangun rumah sangatlah familiar. Babi yang bijak membangun rumahnya dari batu sehingga dia tetap selamat dari incaran serigala pemangsa. Batu tersebut menjadi pelindung si babi bijak dari marabahaya. Dalam berinteraksi , kita perlu berhati-hati . Pepatah mengatakan bahwa rambut manusia boleh sama hitam tetapi isi hatinya tak ada yang tahu. Kedalaman laut bisa diukur, luasnya samudera dapat dijelajah, tetapi hati manusia tetap menjadi misteri. Agar selamat hayat di kandung badan, marilah kita memiliki hati dan mental sekokoh batu. Tidak mudah dihasut dan diprovokasi. Tetap memiliki integritas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H