Nenek moyang petani sejak ratusan tahun yang lampau selalu meniteni atau mengamati dengan cermat gejala-gejala perubahan alam, seperti perilaku hewan, jenis-jenis tanaman yang mulai bertunas atau gugur, desir angin, Â hingga posisi matahari. Dengan seringnya mengamati para petani mengasah indra mereka menjadi lebih peka jika ada perubahan di alam.
Pengamatan ini pada awalnya diturunkan secara turun temurun secara lisan, hingga pada akhirnya diciptakan sebuah kalender yang disebut pranata mangsa yang berasal dari kata pranata yang artinya aturan dan mangsa yang artinnya musim. Â Ini adalah bentuk kearifan local para petani untuk membaca tanda-tanda alam yang berkaitan dengan perubahan musim.
Selama ratusan tahun petani di Jawa menggunakan kalender pranata mangsa untuk hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas pertanian. Namun dengan fenomena El Nino menggeser keakuratan kalender tersebut.
Disini penulis kagum dengan petani senior yang diceritakan diatas. Tidak bisa dipungkiri kalau  kalender pranata mangsa sudah tidak relevan digunakan karena siklus iklim yang berubah. Namun petani tersebut masih memiliki ilmu titen yang mumpuni untuk meramal bahwa musim hujan masih jauh dengan melihat tanda-tanda alam disekitarnya.
Minat anak muda sekarang untuk mempelajari titen nyaris tidak ada, karena dianggap kuno dan tidak memiliki landasan ilmiah. Â Bahkan buat orang yang tidak mengerti, ilmu titen kerap dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistik.
Padahal memahami ilmu titen adalah hasil dari pengasah panca indra agar kita lebih sensitif dengan tanda-tanda alam.  Mungkin orang-orang jaman sekarang berpikir ilmu titen itu tidak penting, karena apapun informasi yang diperlukan bisa dicari dengan sebuah alat  canggih yang hanya sebesar telapak tangan.
Sayang sekali jika ilmu ini punah karena tidak ada lagi orang yang mempelajarinya. Dasar-dasar ilmu titen memang sudah banyak  ditulis, tapi untuk mencapai kemampuan untuk memahami suara alam hanya akan dapat dicapai jika dilatih.
Coba diingat sekali lagi, kapan terakhir kalian menjauhkan diri dari gadget, sejenak merenung di alam bebas, merasakan hangatnya tanah, merasakan desir angin, mendengar cicit burung atau sekedar memandang langit?
Ayo mari kita mulai untuk melatih kecermatan dan kepekaan indra kita agar kita dapat  mengamati, merasakan, dan membaca alam. Jangan sampai kearifan lokal ini punah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H