Selama ini, tenaga kesehatan yang telah memainkan peran-peran krusial dalam menjaga kesehatan masyarakat, sering kali tak mendapatkan kesejahteraan yang proporsional dengan perjuangan fisik dan mental yang mereka hadapi.Â
Kesejahteraan mereka begitu sering diabaikan. Sudah menjadi rahasia umum rasanya, jika ada tenaga kesehatan yang bergaji 300 ribu per bulan dan ada bahkan dari mereka yang tidak digaji sama sekali.Â
Padahal, tenaga kesehatan sehari-harinya berjibaku dengan risiko-risiko di lapangan yang mengancam nyawa, dari misalnya risiko terpapar penyakit-penyakit menular, tertusuk jarum, hingga tekanan mental bekerja dalam situasi dan kondisi kerja yang keras serta tingkat stres yang tinggi.Â
Dengan demikian, jika membicarakan tentang aturan investasi, berinvestasi pada pendidikan untuk menjadi tenaga kesehatan lalu mengharapkan pengembalian dalam bentuk materi merupakan hal yang jelas tidak boleh diekspektasikan oleh para tenaga kesehatan atau calon-calon tenaga kesehatan. Karena selama ini tentu saja sudah jelas realitanya bahwa menjadi tenaga kesehatan bukanlah investasi yang menguntungkan.Â
Kuliah untuk menjadi tenaga kesehatan yang memakan biaya yang luar biasa dan gaji yang saat telah lulus tak pernah setara, tentu tak akan mungkin akan pernah membuat kaya. Namun, gaji tenaga kesehatan selama ini yang masih saja ada di bawah dari upah minimum regional atau UMR, jauh rasanya dari kata kaya, layak pun juga tidak.
Berita tersebut di atas tentang tenaga kesehatan yang bernominal tiga ratus ribu itu tentu saja tak hanya isapan jempol belaka. Benar adanya dan masih terus saja ada hingga kini sudah melampaui tahun 2023. Misalnya sebut saja berita tentang sebanyak kurang lebih 500 tenaga kesehatan sukarela di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masih digaji dengan tidak layak, yang diterbitkan Desember 2023 yang lalu (Baca: "Sungguh Ironis, Gaji Nakes di NTT Setiap Bulan Masih Rp 250 Ribu"). Rasanya begitu menyedihkan, saat harus menghadapi fakta terdapat kesenjangan kesejahteraan antar para diploma dan sarjana.Â
Kemudian menjadi pertanyaan, bagaimana bisa gaji tenaga kesehatan serendah ini? Apa saja faktor yang menyebabkannya? Mengapa gaji tenaga kesehatan tak bisa sama misalnya saja dengan mereka yang bekerja di sektor keuangan pemerintah? Apakah memang tidak terdapat cukup dana alias keterbatasan anggaran untuk menggaji tenaga kesehatan dengan layak?Â
Ataukah ini akibat dari penawaran tenaga kesehatan yang jumlahnya kini telah melebihi permintaan? Ataukah ini sebenarnya hanya sekedar kurangnya komitmen pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan tenaga kesehatan dan menganggap hal ini hanyalah hal biasa, saat tenaga kesehatan meronta-ronta?
Penulis berharap, presiden dan wakil presiden selanjutnya yang terpilih pada pemilu 2024 ini akan benar-benar menyadari betapa menyedihkannya isu kesejahteraan tenaga kesehatan yang selalu stagnan dari tahun ke tahun dan belum pernah membawa kabar bahagia. Para pemimpin wajib memahami bahwa memperjuangkan kesejahteraan tenaga kesehatan adalah investasi dalam kesehatan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.Â
Sebenarnya, upaya memperjuangkan kesejahteraan tenaga kesehatan ini tidak hanya mencakup aspek kesejahteraan terkait finansial, melainkan juga kesejahteraan fisik dan mental, pendidikan, dan dukungan penuh dari masyarakat dan pemerintah untuk para tenaga kesehatan.Â