Orang yang terinfeksi atau menderita TB sering kali menghadapi stigmatisasi yang kuat. Mereka dianggap sebagai individu yang kotor, tidak terawat, atau tidak peduli dengan kesehatan mereka sendiri. Stigma ini dapat menyebabkan isolasi sosial, penolakan, dan diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti di tempat kerja, di sekolah, atau dalam lingkungan sosial mereka.Â
Selain itu, mereka pun sering menghadapi kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan atau mendapatkan pekerjaan baru. Diskriminasi ini dapat terjadi karena ketakutan akan penyebaran penyakit atau ketidakpahaman tentang TB dan bagaimana penyakit ini sebenarnya ditularkan. Bahkan, stigma dan diskriminasi juga dapat muncul dalam pelayanan kesehatan.Â
Individu yang terkena dampak TB mungkin diabaikan, tidak dihormati, atau diperlakukan secara tidak adil oleh tenaga medis atau fasilitas kesehatan. Hal ini dapat menghambat akses mereka ke perawatan yang memadai dan menyebabkan pengobatan yang tidak efektif. Selain individu yang terkena dampak langsung, keluarga dan anggota masyarakat terkadang juga menghadapi stigma dan diskriminasi. Mereka dapat dianggap sebagai pembawa atau penyebar penyakit, meskipun mereka mungkin tidak terinfeksi secara aktif.Â
Stigma dan diskriminasi terhadap TB tidak hanya merugikan individu yang terkena dampak secara langsung, tetapi juga dapat menghambat upaya pencegahan, pengobatan, dan eliminasi TB secara keseluruhan. Stigma dan diskriminasi terhadap tuberkulosis (TB) merupakan salah satu hambatan dalam upaya eliminasi terhadap penyakit ini.
Salah satu bentuk stigma lain yang sering luput dari pembahasan ialah terkait penggunaan bahasa dalam komunikasi terkait TB. Penggunaan bahasa selama ini di dalam penanganan tuberkulosis telah dikaitkan dengan peminggiran dan stigmatisasi terhadap orang yang terkena dampak TB, bahkan dalam beberapa kasus melanggar hak asasi manusia mereka.Â
Sebagaimana penelitian oleh Umana B pada tahun 2023, disebutkan bahwa istilah medis teknis seperti "case" atau kasus" (orang yang dipastikan mengidap TB), "suspect" atau "tersangka" (orang yang diduga mengidap, atau sedang diselidiki untuk TB), dan "default" atau "mangkir" (orang yang telah berhenti menggunakan pengobatan yang direkomendasikan) justru membuat anggapan yang buruk terhadap pengobatan yang seolah-olah dibingkai sebagai tanggung jawab seorang individu yang terkena dibandingkan sebagai faktor penentu biososial atau akses pengobatan yang sulit.Â
Sebagaimana panduan yang dibawakan oleh Words Matter mengenai saran bahasa dan penggunaan untuk komunikasi tuberkulosis, mereka menyerukan bagaimana penggantian banyak istilah dalam tuberkulosis dapat mengurangi stigmatisasi terhadap orang dengan tuberkulosis maupun orang-orang sekitarnya.
Diharapkan, upaya-upaya dalam pencarian alternatif istilah atau bahasa terkait komunikasi mengenai penanganan tuberkulosis ini memiliki potensi untuk mengubah wacana publik dan mengembalikan nilai sosial kepada mereka yang terkena dampak TB.Â
Melalui tulisan ini, penulis berharap, dapat menyebarluaskan penelitian yang dibawakan di atas untuk menjadi secercah harapan di tengah-tengah stigmatisasi sosial mengenai tuberkulosis, yang mana stigma-stigma tersebut menghambat penemuan dan pengobatan TB selama ini.
Mari bersama-sama memerangi stigma terhadap tuberkulosis. Ciptakan lingkungan yang nyaman untuk mereka dengan tuberkulosis untuk mencari pertolongan untuk mengetahui informasi tentang penyakitnya dan akses menuju pengobatan. Mari pastikan tidak ada satupun yang tertinggal dalam upaya mewujudkan kesehatan bagi siapapun yang ada di dunia ini.