Perjalanan menjadi seorang dokter atau proses pendidikan kedokteran memang terbukti sangat melelahkan.Â
Hal tersebut ditunjukkan saat di suatu titik waktu di masa lampau, saya memberi semangat kepada diri saya sendiri bahwa saya akan segera lepas dan bebas dari buku-buku kedokteran yang berbaris rapi meminta untuk dibaca supaya saya menjadi dokter yang penuh akan ilmu, saat saya nanti disumpah menjadi seorang dokter.Â
Tentu saja, pada akhirnya saya menyadari saya salah besar. Setelah disumpah dokter, saya memasuki masa yang disebut dengan masa internship atau jika diterjemahkan ialah masa magang.Â
Masa di mana seorang dokter mengalami pemahiran dan pemandirian. Sebuah masa transisi dari fase pre-klinik dan klinik di instansi formal pendidikan kedokteran menuju instansi tempat kerja yang menuntut kita untuk menjadi dokter seutuhnya.Â
Seorang dokter yang dapat mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas nasib-nasib para pasien yang mereka tangani.Â
Saya menghabiskan setengah waktu dari internship saya untuk kembali belajar baik dengan membaca buku, jurnal, maupun mengikuti webinar. Mengingat jika dulu saat berkuliah, saya mempelajari bahwa suatu penyakit A memiliki tanda dan gejala B, C, dan D. Namun praktik di lapangan tidaklah demikian. Bisa saja, pasien dengan penyakit A hanya memiliki tanda atau gejala B, tak terdapat C dan D.Â
Saya teringat penuturan salah satu dosen saya, beliau menyampaikan bahwa setiap pasien dengan pasien lain dapat saja menghasilkan temuan anamnesis maupun pemeriksaan fisik yang berbeda namun pada akhirnya berlabuh pada diagnosis yang akhirnya sama.Â
Menghadapi berbagai kasus-kasus penyakit yang begitu bervariasi dari satu pasien ke pasien lainnya, benar-benar membuat saya terbakar semangat untuk membuka literatur kembali setiap harinya.
Saya pun selalu mengingat perkataan dosen untuk tak pandang bulu siapapun pasien yang datang berobat kepada kami. Tak pandang suku, ras, agama. Memposisikan pasien seolah-olah ia adalah keluarga kami.Â
Maka, saat menempatkan pasien sebagai seorang keluarga, tentu saja kita akan memperhatikan pasien sebagaimana kita ingin memperhatikan orangtua maupun saudara.Â