Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Lingkaran Setan Rokok, Skizofrenia, dan Kemiskinan

12 Juli 2022   20:48 Diperbarui: 13 Juli 2022   11:46 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar sebulan yang lalu, saya ditugaskan untuk berangkat bersama penanggung jawab program kesehatan jiwa Puskesmas saya ke salah satu desa yang masih merupakan cakupan wilayah pelayanan Puskesmas kami untuk melakukan pendampingan pada salah satu orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di sana. 

Rumah yang kami kunjungi terletak di dalam gang yang begitu kecil sehingga kami harus memarkir motor-motor kami di depan gang dan lalu mencapai ke rumah pasien dengan berjalan kaki beberapa ratus meter.

Keseluruhan rumahnya terbuat dari kayu dengan seng sebagai atapnya. Ventilasi yang minim adalah kesan selanjutnya yang saya dapatkan. Kemudian kami mengetuk pintu dan mengucapkan salam. 

Pasien yang kami ingin temui hari itulah yang ternyata membuka pintu. Dikatakan perawat yang berangkat bersama saya di hari itu bahwa pasien sudah sangat jauh lebih tenang dibanding bulan-bulan awal saat pertama didiagnosa dengan skizofrenia. Sudah berlangsung kira-kira 5 bulan pengobatannya. 

Dikatakan awalnya ia melempari tenaga kesehatan yang datang dengan berbagai barang yang ada di dekatnya. Senang sekali di hari saya datang pasien sudah menunjukan banyak sekali perbaikan. 

Begitu kami memasuki rumah, bau asap rokok menyeruak di seluruh ruangan rumah yang minim ventilasi menembus masker yang telah sedikit paling tidak menjadi salah satu bala bantuan bagi saya, walau akhirnya baunya tetap tercium juga. 

Kami memulai kunjungan dengan menanyakan kabar pasien, apakah ia sudah makan, apakah sudah mandi, dan berbagai pertanyaan seputar kegiatan sehari-harinya yang kami harapkan dapat berangsur-angsur normal seperti semula.

Ia menjawab bahwa ia sudah makan dan seperti biasa mie instan adalah menunya. Ia mengatakan bahwa ia belum mandi dan berencana akan segera mandi setelah kami pulang dari rumahnya. 

Sambil mengobrol dengan kami, pasien sambil sesekali meletakkan rokok di piring berukuran kecil berwarna bening sebagai asbak untuk menyetor abu-abu puntung rokoknya. 

Kami bertanya berapa banyak rokok yang ia habiskan per hari. Ia menjawab tak pasti mengingat rokok tersebut ia dapatkan secara cuma-cuma dari tetangga-tetangganya karena ia tak memiliki uang untuk membeli rokok. 

Kami melanjutkan dengan memeriksa tanda-tanda vital pasien lalu menyuntikkan obat injeksi antipsikotik untuk mengurangi gejala-gejala skizofrenianya. 

Setelah itu tentu kami melanjutkan kembali percakapan kami dan menutup dengan edukasi agar terus patuh meminum obat. 

Terakhir, perawat kami memberikan sedikit uang untuk ia membeli makanan. Perawat kami berpesan agar ia tak membelikan uangnya untuk rokok, tapi untuk makanan yang dapat mengenyangkannya. 

Sepulang dari kunjungan, seperti biasa, setiap bertemu pasien, begitu banyak hal yang berkecamuk di pikiran saya. 

Oleh karena itulah salah satunya mengapa saya menuliskan ini semua di Kompasiana, tak lain tak bukan agar tak hanya saya yang menanggung beban pikiran ini semua. 

Memang susah terlahir menjadi seorang pemikir. Setiap apa apa saja selalu dipikirkan hingga kadang saya tak bisa tidur jika mengingatnya dan memikirkan bagaimana solusinya. Solusi terhadap lingkaran setan dari skizofrenia dan kemiskinan, sebagaimana judul tulisan saya. 

Sebelum saya melakukan kunjungan di hari itu, sebagai seorang dokter internship yang baru beradaptasi di lingkungan ini tentu mengharuskan saya mengenali pasien yang akan dikunjungi selama 6 bulan ke depan. 

Saya memulai kunjungan dengan bertanya kepada perawat salah satunya terkait apa faktor risiko yang berhubungan dengan keadaan pasien tersebut. 

Beliau mengatakan kondisi ekonomi yang sulit yang salah satunya diduga mencetuskannya. Pasien hidup sebatang kara dan tak memiliki keluarga maupun teman untuk diajak bercerita sepanjang hidupnya. 

Sekitar kurang lebih 6 bulan yang lalu pasien didiagnosis sebagai pengidap skizofrenia. Ia sering mengamuk hingga menghancurkan rumah-rumah warga. 

Sebelumnya pasien adalah seorang pedagang di suatu tempat yang agak jauh dari rumahnya. Namun, usahanya lalu bangkrut dan akhirnya ia mulai menunjukkan beberapa gejala.

Berawal dari kemiskinan yang menjadi faktor risiko alias pencetus keadaannya yang mana membuat pasien harus berjibaku dengan keadaan mentalnya dan akhirnya jatuh pada situasi dimana keadaan mentalnya tak memungkinkan ia untuk bekerja, pada akhirnya menurunkan produktivitasnya lalu akan semakin memperburuk kondisi ekonominya. 

Dengan kondisi ekonominya yang sangat seadanya, hal yang begitu menyedihkan ialah pasien tak bisa melepaskan diri dari kecanduannya atas rokok. Tetangga mengatakan bahwa pasien rela tak makan nasi asal ia bisa tetap merokok. 

Akhirnya karena tetangga tak tega melihat ia tak makan, beberapa memutuskan untuk membagikan beberapa batang rokoknya setiap harinya untuk pasien agar uang yang ia miliki dapat ia belikan makanan-makanan bergizi yang dapat menunjang kesembuhannya. 

Dituturkan tetangga bahwa pasien memang seorang pecandu rokok sejak muda. Jumlah rokok yang sekarang ia konsumsi telah jauh sangat berkurang karena ia sudah tak memiliki uang untuk membelinya. 

Padahal bisa saja jumlah yang ia inginkan sebenarnya lebih banyak dibanding saat ia tak mengidap skizofrenia. 

Saya pernah membaca jurnal berjudul "Potent dopamine D2 antagonists block the reward-enhancing effects of nicotine in smokers with schizophrenia" terkait hubungan rokok dengan skizofrenia. 

Dikatakan rokok memiliki hubungan erat dengan kejadian skizofrenia dan skizofrenia pun memiliki hubungan erat dengan peningkatan jumlah rokok yang dikonsumsi, setelah seorang perokok memiliki skizofrenia. 

Rasanya ingin sekali saya memarahi rokok walau saya tahu ia adalah benda mati, melihat betapa kejamnya rokok si penguras kantong ini telah berhasil memperdaya pasien saya yang keadaan ekonominya sudah begitu miris dan kondisi kejiwaannya yang sedang dalam proses penyembuhan bahkan sesekali masih sering kambuh, harus terperangkap dalam jerat candunya. 

Keadaan ekonomi pasien sebelum ia mengidap skizofrenia tak menutup kemungkinan salah satunya diperburuk akan kecanduannya terhadap rokok. 

Bayangkan saja berapa banyak uang yang bisa ia tabung selama sebulan atas 3 bungkus rokok per harinya. Kalikan saja berapa hari, berapa bulan, berapa tahun ia telah merokok sedari muda.

Mengapa saya ingin memarahi rokok padahal ia adalah benda mati? Karena polemik pro dan kontra terkait rokok telah memuakkan saya. 

Konflik yang konon katanya antara kesehatan dan ekonomi yakni saat rokok sudah jelas secara ilmiah sangat berbahaya untuk kesehatan yang mana menimbulkan berbagai penyakit dari kepala hingga kaki dan sudah seharusnya ditarik dari peredaran.

Masih saja harus ditahan karena ego dan alibi akan perusahaan-perusahaan rokok yang katanya menyerap banyak lapangan pekerjaan. Jadi kalau sudah begini, tak apa dong jika rokoknya saja yang saya marahi. 

Penulis berharap, melalui tulisan ini dapat setidaknya memberikan potret sebuah lingkaran setan antara rokok, skizofrenia, dan kemiskinan. Lewat tulisan ini penulis tidak sama sekali mengatakan bahwa skizofrenia hanya terdapat pada masyarakat dengan ekonomi menengah bawah (kaum miskin). 

Skizofrenia bisa terdapat pada siapapun mengingat faktor risikonya yang juga sangat beragam. Namun, skizofrenia dengan kemiskinan patut dijadikan perhatian berbagai pihak yang berwenang. 

Sudah seyogyanya pasien skizofrenia dengan kemiskinan tak hanya dilihat dari segi medisnya saja, namun juga dari segi ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. 

Jika menangani dari segi medis saja, skizofrenia dan kondisi-kondisi gangguan kejiwaan lain tak akan teratasi secara sempurna. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap keadaan kejiwaan seseorang. 

Oleh karena itu solusi terhadap mereka dengan gangguan kejiwaan dan kemiskinan tak terbatas hanya dengan penanganan medis saja. 

Solusi terkait bagaimana memberdayakan ekonomi pasien dan keluarga dengan keadaan kejiwaannya yang membatasi produktivitasnya perlu dipikirkan agar mampu memutus lingkaran setan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun