Mohon tunggu...
Robertus Arian Datusanantyo
Robertus Arian Datusanantyo Mohon Tunggu... Dokter -

Dokter, sedang menempuh pendidikan spesialis di Universitas Airlangga Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pemeriksaan Laboratorium Bukanlah Penentu Diagnosis Penyakit

1 Oktober 2011   13:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:26 2568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Seorang pasien mengeluhkan adanya rentang waktu antara mulai dirawat di rumah sakit sampai dengan ditegakkannya diagnosis (nama penyakit). Pasien tersebut menderita demam dua hari dan minta dirawat inap. Pada hari keempat demam barulah dokter yang merawat memberitahukan diagnosis. Pasien tersebut mengeluh, “Sudah dirawat dua hari kok baru sekarang ketahuan penyakitnya. Rumah sakit dan dokter macam apa ini?”

Dalam tulisan saya yang terdahulu sudah dijelaskan mengenai urut-urutan pekerjaan yang dilakukan dokter dalam mengelola pasien. Dalam tulisan tersebut, terdapat pengertian-pengertian yang berkaitan dengan pengelolaan pasien, misalnya diagnosis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, terapi, dan lain-lain. Sebelum melanjutkan, ada baiknya anda membaca terlebih dahulu tulisan tersebut untuk lebih memahami tulisan ini, yang hanya menggarisbawahi kesan kebanyakan orang bahwa diagnosis ditentukan hanya dari pemeriksaan laboratorium.

Pada prinsipnya, pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan penunjang. Sampel yang dipakai dalam pemeriksaan laboratorium cukup bervariasi. Sampel tersebut antara lain darah, urin (air seni), feses (tinja), usapan tenggorok, cairan serebrospinal (cairan otak), dan lain-lain. Pemeriksaan ini sendiri dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu pemeriksaan sitologi (melihat sel, dengan mikroskop), pemeriksaan hematologi (darah), pemeriksaan kimia (mengukur kadar suatu bahan dalam cairan), pemeriksaan serologi, dan lain-lain.

Pemeriksaan laboratorium selain melibatkan sampel juga melibatkan bahan kimia, peralatan elektronik, peralatan mekanik, dan manusia yang menjalankannya. Semua aspek ini secara kolektif menentukan kualitas pemeriksaan laboratorium. Apabila semua aspek ini kita anggap sempurna, sebenarnya tiap-tiap macam pemeriksaan laboratorium mempunyai kualitas yang bervariasi dari sudut pandang dokter yang memerlukan pemeriksaan tersebut. Untuk menentukan akurasi dan kualitas suatu pemeriksaan laboratorium, setiap macam dan tujuan pemeriksaan laboratorium mempunyai karakter statistik yang diberi nama sensitivitas dan spesifisitas.

Sensitivitas digambarkan sebagai berikut. Seandainya ada seratus orang yang dikatakan menderita suatu penyakit oleh tes dengan sensitivitas 100%, maka seratus orang tersebut memang BENAR menderita penyakit tersebut. Oleh karena itu, hasil negatif menggunakan pemeriksaan dengan sensitivitas 100% berarti orang tersebut tidak menderita penyakit. Tes dengan sensitivitas tinggi dengan demikian bermanfaat tinggi untuk menyingkirkan kemungkinan suatu penyebab penyakit.

Spesifisitas tidak sama dengan sensitivitas. Andaikan ada sebuah tes dengan spesifisitas 100%. Tes ini digunakan untuk memeriksa seratus orang. Apabila seratus orang tersebut memperoleh hasil negatif, maka TIDAK ADA satupun dari seratus orang tersebut yang benar menderita penyakit itu. Oleh karena itu, hasil positif menggunakan pemeriksaan dengan spesifisitas 100% berarti orang tersebut benar-benar menderita penyakit tersebut.

Pada kenyataannya, tidak ada tes laboratorium dengan sensitivitas sekaligus spesifisitas 100%. Akurasi pemeriksaan laboratorium selalu merupakan kompromi atas nilai sensitivitas dan nilai spesifisitasnya. Dengan demikian, masih ada kemungkinan seseorang menderita suatu penyakit walaupun hasil tesnya negatif dan sebaliknya. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya perlu digabungkan dan dianalisis untuk dibuat kesimpulan sebagai suatu diagnosis kerja.

Selain sensitivitas dan spesifisitas di atas, ada hal lain yang diperlukan dalam mengelola pemeriksaan laboratorium yang baik. Salah satunya adalah waktu. Waktu diambilnya sampel sangat menentukan hasil. Salah satu contoh adalah pengambilan sampel apusan darah untuk melihat protozoa penyebab malaria paling baik diambil saat pasien menggigil dan demam. Contoh lain adalah pemeriksaan Widal yang sebenarnya perlu dilakukan setelah satu minggu demam sebanyak dua kali selang satu minggu untuk menilai kenaikan konsentrasi. Kenaikan inilah yang mengkonfirmasi suatu diagnosis demam tifoid (secara luas disebut sebagai tifes/typhus – sebenarnya bukan istilah yang benar).

Sensitivitas, spesifisitas, dan waktu pemeriksaan adalah tiga faktor yang sering menimbulkan pertanyaan seperti pada paragraf pertama di atas. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang bisa tepat seratus persen pada setiap saat pemeriksaan. Secanggih apapun pemeriksaan laboratorium tetap harus mempertimbangkan proses penyakit dan waktu yang tepat untuk dilakukan pemeriksaan. Oleh karena itu, sebaiknya pemeriksaan laboratorium diminta oleh dokter setelah melakukan serangkaian anamnesis dan pemeriksaan fisik. Melakukan pemeriksaan laboratorium secara sembarangan dapat mengaburkan diagnosis dan menghamburkan sumber daya. (Robertus Arian D. – Hospitalist)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun