Berawal dari hasrat Bupati Karawang, H Ade Swara yang menginginkan agar Pemkab Karawang mendapatkan anugrah prestisius Adipura. Kini, nasib para Pedagang Kaki Lima (PKL) di Karawang dalam kegamangan. Pasalnya, Aparat Penegak Peraturan Daerah (Perda) atau yang lazim disebut para PKL adalah “Pasukan Langit” (Satpol PP), kini sedang gencar-gencarnya melakukan penertiban tata kota. Akibatnya, PKL yang dinilai mengganggu terkena sasarannya.
Para petinggi Satpol PP Karawang mengklaim, apa yang dilakukan pasukannya hanya menggeser untuk penataan, bukan mengusir. Namun, prakteknya tetap saja membuat para pedagang yang hinggap di bahu-bahu jalan itu kocar-kacir. Betapa tidak, puing-puing rezeki yang dikumpulkannya untuk menyambung hidup, kini terpaksa harus terganggu lagi oleh program pemkab yang akan menata kota yang muaranya untuk penilaian mendapatkan anugrah Adipura.
Sebenarnya, permasalahan PKL yang dinilai mengganggu tata kota Karawang, bukanlah hal yang baru. Tahun-tahun sebelumnya, bahkan para bupati sebelum H Ade swara juga pernah mencoba melakukan penertiban. Namun, ujungnya tetap saja, para PKL tidak bisa diakomodir dan menempati lahan-lahan publik.
Permasalahannya hanya satu, yakni pemkab Karawang belum berhasil dalam menentukan lokasi untuk penempatan yang sesuai dengan keinginan para PKL. Karena, pada dasarnya walau pun skalanya kecil, para PKL adalah para pengusaha yang artinya aspek pasar, lokasi dan pemasaran harus memenuhi unsur dari tempat jualan. Nah, dalam hal itulah Pemkab Karawang lemah. Karena, sampai saat ini, para pejabat dan tim ahli yang mempunyai latar belakang akademisi belum bisa memberikan sebuah usulan untuk penetuan tempat untuk para PKL yang strategis dan diterima oleh para PKL sendiri. Kalau, lokasi untuk penampungan para PKL belum bisa diselesaikan, jangan harap upaya untuk menciptakan tata kota ideal, apalagi mendapatkan anugrah Adipura bisa menjadi kenyataan.
Kalau ditelusuri ke belakang, mengenai kebijakan-kebijakan stratregis Pemkab Karawang yang kaitannya dengan penataan PKL. Sebenarnya sudah banyak dilakukan. Namun, semuanya tidak memberikan hasil yang positif, meskipun memang ada sedikit perubahan ke arah yang lebih baik. Sebut saja, dibangunnya Pasar Rawasari atau Pasar Jagalaya (Jajanan Sagala Aya) di Jalan Arif Rahman Hakim (Niaga) ketika era kepemimpinan Drs H Dadang S Muchtar (periode 2005-2010). Kios-kios yang dikonsep seperti pasar modern itu, ternyata tidak bisa menjadi solusi untuk para PKL di Karawang. Karena, hingga saat ini di Pasar Jagalaya itu lebih banyak kios yang kosong dari pada yang diisi. Alasannya, harga yang ditawarkan pengembang tidak terjangkau oleh para PKL yang hanya bermodal ratusan ribu rupiah. Akhirnya, kios-kios itu hanya diisi oleh para pedagang menengah ke atas, sehingga cita-cita ingin menjadikan Pasar Jagalaya sebagai pusat PKL di Karawang hanya menjadi isapan jempol belaka. Disinyalir, dalam proyek ini Pemkab Karawang hanya mengedepankan otoritas pihak-pihak yang berkepentingan terhadap proyek pembangunan Pasar Jagalaya, walalu pun sudah melenceng dari esensi yang sebenarnya. Yakni, menciptakan lahan untuk berjualannya para PKL dengan harga sewa tempat yang terjangkau.
Selanjutnya, masih dalam kepempinan Drs H Dadang S. Muchtar. Kebijakan strategis menyulap lokasi sepanjang rel kereta Jalan Parahiyangan Keluarahan Adiarsa sebagai pusat PKL lainnya untuk para pedagang yang menempati trotoar Cinangoh Kelurahan Karawang Wetan.Kebiajakn tersebut dinilai berhasil, karena saat ini para PKL yang jualan di trotoar Cinangoh sudah berkurang dan menempati lahan relokasi di Jalan Parahiyangan. Namun, lagi-lagi fakta berbicara, karena lahan relokasi itu hanya sedikit menarik minat PKL untuk berjualan. Karena, dari ratusan kios yang dibangun sederhana, hanya sebagian saja yang diisi oleh para pedagang. Sisanya, dibiarkan begitu saja.
Dari beberapa kebiajakan strategis menyangkut PKL yang sudah diambil pada saat Kepemimpinan Drs H Dadang S. Muchtar. Harusnya, pemerintah yang sekarang berkaca, bahwa tidak gampang untuk melakukan penataan bagi PKL yang bertebaran disetiap area publik di Karawang. Namun, butuh sebuah keputusan yang matang serta dilatarbelakang pengkajian yang mendalam terhadap analisis lokasi dan pasar bagi PKL. Kalau motivasinya hanya untuk anugrah Adipura, rasa-rasanya terlalu dangkal dan tidak substansi.
Kalau saja mau sedikit mempelajari siklus kehidupan para PKL dan pembelinya, sebenarnya tidak akan sulit bagi Pemkab Karawang untuk mengambil sebuah keputusan dan mengakhiri permasalahan sosial penataan PKL. Karena, masalah penataan PKL ini sudah turun temurun diwariskan dari satu rezim kepemimpinan ke rezim kepemimpinan di Karawang berikutnya.
Hal yang sangat mendasar atas keberadaan PKL di lahan-lahan publik adalah adanya pembeli. Pembeli disini adalah warga yang tidak mau repot memarkirkan kendaraannya untuk membeli sesuatu. Apalagi, membeli barang di PKL sudah mendapatkan jaminan murah. Artinya, butuh sebuah penciptaan kesadaran terhadap warga agar tidak melulu melakukan perbuatan instan ketika ingin mendapatkan sesuatu, salah satunya ketika ingin membeli barang. Kalau warga sadar, tentunya tidak akan ada lagi pemandangan lapak-lapak PKL menempati trotoar yang sebenarnya keberadaanya sudah merampah hak pejalan kaki warga sendiri.
Sehingga, untuk urusan penataan PKL ini, harus didukung semua eleman masyarakat, meskipun dalam hal ini pemerintah yang harus dominan, karena mmepunyai otoritas untuk melakukan pengaturan.(*)