(ID : ariakesuma) Kota merupakan wilayah pemusatan penduduk dengan berbagai kegiatan dan perilakunya yang khas. Dominasi kegiatan non-pertanian, jasa, kantor dan perilaku yang tidak terlalu ditentukan alam, menjadi salah satu ciri kota. Konsentrasi penduduk dan kegiatan non-pertanian inilah yang pada umumnya digunakan untuk membedakannya dengan desa. Menurut Bintarto (1987) dalam Yunus (2006), kota dalam tinjauan geografi adalah suatu bentang budaya yang ditimbulkan olehunsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukupbesar, dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah di belakangnya. Dalam perkembangannya, konsep-konsep kota paling tidak dapat dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu segi fisik ,administratif, sosial dan fungsionalJumlah penduduk yang terkonsentrasi menjadi faktor pembeda satu kota dengan yang lain, besaran penduduk dijadikan sebagai salah satu indikasi untuk mengklasifikasikan kota seperti metropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil.
Penduduk kota tumbuh lebih cepat daripada penduduk non-kota, pertumbuhan dan perkembangan kota seakan-akan tidak pernah sampah titik jenuh hal ini dikarenakan tingkat migrasi yang cukup tinggi dan potensi ekonomi yang terus tumbuh, sedangkan pertumbuhan desa sedikit demi sedikit makin mengecil. Pertumbuhan penduduk ini jelas yang menjadi salah satu penyebab perubahan lingkungan kota, baik dalam Perubahan lingkungan alami, penggunaan sumber daya alam yang besar, peningkatan pencemaran udara, peningkatan limbah padat dan perubahan lainnya yang memang disebabkan oleh adanya pertumbuhan penduduk. Namun harus diakui, bahwa pertumbuhan penduduk bukan merupan satu-satunya penyebab perubahan lingkungan di wilayah perkotaan. Perkembangan aktivitas ekonomi, sosial budaya dan peradaban menentukan perubahan dan kondisi lingkungan kota. Walaupun demikian, kecepatan pertumbuhan penduduk yang tidak dapat diikuti kemampuan memfasilitasinya menjadi penyebab munculnya masalah lingkungan yang cukup serius di perkotaan.
Makin bertambahnya jumlah penduduk merupakan suatu keterikatan linier dengan padatnya penduduk dan padatnya bangunan untuk bermukim (bertempat tinggal) didalam suatu wilayah perkotaan. Proses pemadatan bangunan permukiman yang tidak terkendali sering kali mengakibatkan hilangnya ruang terbuka yang berada di dalam perkampungan penduduk. Ruang terbuka dapat berfungsi sebagai tempat bertemunya warga secara rutin, sosialisasi, tempat peyerapan air, maupun fungsi spesifik lainnya. Wajar jika selama ini terlihat adanya gejala penurunan sosialisasi antar warga karena tidak adanya kontak sosial yang dilakukan warga dalam ruang-ruang terbuka, barangkali hal itu wajar karena tidak didukung oleh keberadaan local meeting spot.
Tidak adanya ruang terbuku hijau lokal dalam daerah permukiman, telah mengakibatkan peningkatan suhu harian maupun tahunan dan secara akumulatif ternyata telah memicu munculnya urban heat island di beberapa bagian kota, khususnya kota megapolitan dan metropolitan. Pemadatan bangunan yang semakin massive pada akhirnya akan sampai pada titik kulminasi, dimana tidak terdapat lagi ruang terbuka publik yang dapat dimanfaatkan sebagai areal ruang terbuka dan kondisi ini menurut Yunus (2006) disebut sebagai death point/saturated point. Secara teoritis, pemadatan permukiman akan diikuti oleh penurunan kualitas fisik lingkungan, kemudian diikuti oleh penurunan tingkat kesehatan penduduk dan diikuti pula oleh penurunan produktivitas yang akhirnya diikuti penurunan kesejahteraan (makin miskin) yang berimbas pada penurunan kemampuan memperbaiki kondisi lingkungan, yang mengakibatkan permukiman semakin kumuh dan seterusnya sebagai suatu vicious circle of poverty di daerah permukiman kumuh (Yunus, 2006). Suatu lingkaran setan kemiskinan yang dipicu oleh degradasi lingkungan permukiman.
Oleh karena kepadatan dan dinamika penduduknya, ruang dan tanah di kota menjadi sebuah faktor yang pelik. Tata ruang dan pengelolaan tanah yang tidak tepat dapat menjadi sumber ketidakefisienan, pertikaian kepentingan, ketidakpuasan maupun kemerosotan kualitas dan daya dukung lingkungan. Hal ini akan menjadi semakin rumit lagi untuk kota dan perkotaan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tekanan kebutuhan tanah tersebut telah mulai dirasakan sejak sekarang yang terlihat dari makin meningkatnya upaya mengurug rawa, laut, merambah daerah peresapan yang kesemuanya mengancam keberlanjutan kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan (Yunus, 2005). Menghadapi tekanan pertumbuhan tersebut, penataan ruang dapat menjadi suatu langkah yang penting. Lebih lanjut, proses penguasaan dan konversi tanah harus mendapat perhatian lebih khusus. Aturan main tata ruang dan pengelolaan tanah tidak dapat diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar, tanah harus dicegah menjadi mata niaga atau komoditas. Di samping karena kelangkaannya, mekanisme pasar cenderung menyisihkan kepentingan umum dan lapisan bawah (masyarakat berpenghasilan rendah).
Peraturan perundangan mengenai dasar penataan ruang dan pengelolaan tanah ini sesungguhnya telah ada. Jika diambil contoh, konsep kawasan siap bangun seperti yang telah diatur oleh undang-undang permukiman tampaknya telah mengantisipasi pembangunan permukiman skala besar seperti yang telah dijelaskan diatas. Namun sayang sekali pada tahapan implementasi sering kali, tidak hanya peraturan tentang permukiman saja, undang-undang hanya menjadi kitab kusam belaka.
Referensi
Yunus, Hadi, 2005. Manajemen Kota Perspektif Spasial. Yogyakarta: Peberbit Pustaka Pelajar
Yunus, Hadi, 2008. Dinamika Wilayah Peri-Urban Determinan Masa Depan Kota Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar
Yunus, Hadi. 2006. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka Pelajar Offset : Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H