Mohon tunggu...
Aditya Ariaguslidinata
Aditya Ariaguslidinata Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Jember

Semoga tulisan saya dapat memberikan manfaat bagi kita bersama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Lebanon dan Kebijakan Currency Peg

4 April 2023   02:26 Diperbarui: 4 April 2023   02:37 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pernahkah anda berpikir bagaimana jika US$ 1 setara dengan Rp 1.000?. Banyak dari masyarakat Indonesia yang mungkin juga memiliki pertanyaan yang sama. Terdapat sebuah mekanisme di dalam ilmu ekonomi yang memungkinkan hal tersebut untuk terjadi. 

Mekanisme tersebut dinamakan dengan Currency Peg. Pasak mata uang atau Currency peg merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau bank sentral di suatu negara dalam menetapkan nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dari mata uang negaranya terhadap mata uang asing. 

Mata uang seperti Dolar AS dan Euro menjadi pilihan yang paling sering untuk dipatok terhadap mata uang suatu negara. Terdapat 14 mata uang yang dipatok terhadap Dolar AS, dan terdapat 11 mata uang yang dipatok terhadap euro. 

Dari sekian banyak negara yang melakukan Currency peg tersebut, terdapat suatu negara yang sangat menarik untuk dibahas. Hal ini dikarenakan bagaimana upaya negara ini untuk terus dapat mempertahankan Currency peg yang mereka lakukan sejak beberapa dekade silam di tengah krisis besar yang mereka alami. 

Negara tersebut adalah Lebanon. Pada pembahasan ini akan dilihat bagaimana hubungan antara krisis ekonomi yang terjadi di Lebanon dengan Currency peg yang mereka lakukan sejak beberapa dekade terakhir.

Krisis ekonomi yang terjadi di Lebanon pada saat ini merupakan bentuk akibat dari sejarah panjang kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah negara ini. Pada tahun 2022 menurut data dari trading economics, Lebanon memiliki rasio utang tehadap PDB sebesar 172%. Hal ini tentu sangat jauh dari titik kritis rasio utang terhadap PDB yang ditetapkan oleh IMF pada tahun 2010 yang berada pada angka 77% bagi negara maju dan 64% bagi negara berkembang. 

Lebanon memang bukan satu-satunya negara yang memiliki angka rasio utang terhadap PDB yang melewati batas kritis yang ditetapkan oleh IMF. Jepang misalnya pada tahun 2021 memiliki rasio utang terhadap PDB sebesar 177,08%, namun perekonomian Jepang tentu tidak bisa dibandingkan dengan Lebanon. 

Perekonomian Jepang dan Lebanon bak langit dan bumi, Jepang tentu dapat bertahan dengan baik walaupun dengan rasio utang yang tinggi, dimana hal serupa tidak dapat dilakukan oleh Lebanon. 

Hal ini dapat terjadi sebab kebiasaan pemerintah Lebanon untuk melakukan impor dengan jumlah yang besar tapi tidak diimbangi dengan ekspor, dimana sejak beberapa dekade terakhir Lebanon selalu mengalami defisit. 

Memang pada dasarnya defisit merupakan suatu hal yang wajar, namun yang terjadi di Lebanon adalah pemerintah Lebanon membutuhkan Dolar AS untuk melakukan impor sementara mereka tidak memiliki stok Dolar AS yang mencukupi sebab tidak adanya ekspor yang terjadi. 

Hal ini yang kemudian membuat pemerintah Lebanon melakukan berbagai cara untuk dapat meningkatkan minat investor untuk dapat melakukan investasi di Lebanon agar dapat menjamin ketersediaan Dolar AS yang mana salah satu caranya adalah dengan melakukan Currency peg.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun