Mohon tunggu...
Aditya Ariaguslidinata
Aditya Ariaguslidinata Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Jember

Semoga tulisan saya dapat memberikan manfaat bagi kita bersama

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Merkantilisme dan Dosa Bangsa Barat di Masa Lalu

7 Maret 2023   09:56 Diperbarui: 7 Maret 2023   10:00 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dasarnya Merkantilisme melihat kekuasaan dan kekayaan sebagai dua hal yang tidak mungkin dapat dilepaskan dari jalannya pembangunan di suatu negara. Menurut teori merkantilisme, setiap tindakan yang diambil dan dilakukan suatu negara pasti bertujuan untuk menghasilkan kekayaan. Hal ini dikarenakan suatu negara hanya bisa menjadi aman dan sejahtera ketika mereka mampu memperoleh kekuatan dengan kekuasaan dan kekayaan yang mereka miliki. Merkantilisme melihat ketika suatu negara tidak mampu untuk menjaga dirinya dari kekuatan asing, maka negara tersebut pasti akan jatuh dan tergulingkan oleh kekuatan tersebut dan akan dikuasai oleh kekuatan itu hingga berakhir pada kemiskinan dan perbudakan. Melalui hal tersebut merkantilisme menyimpulkan bahwa negara harus menjadi kaya agar dapat mempertahankan kekuatannya.

Dalam mencapai kekuasaan dan kekayaan, teori merkantilisme mengatakan bahwa suatu negara harus mampu mencapai surplus dagang dengan meningkatkan ekspor dan sebisa mungkin membatasi impor. Pendapat ini dapat dilihat dengan jelas pada berbagai sumber literatur mengenai merkantilis yang dibuat pada abad 16-18. Pada saat itu kekuatan dan kekayaan suatu negara dapat dilihat pada akumulasi kepemilikian emas dan perak. Jumlah emas dan perak yang diperoleh dari proses perdagangan digunakan sebagai alat ukur dalam melihat selisih diantara ekspor dan impor. Obsesi untuk meningkatkan kekayaan ini yang akhirnya mendorong berbagai negara di eropa pada saat itu berlomba untuk mendapatkan daerah koloni. Daerah koloni terbukti mampu menjadi wadah bagi negara-negara seperti Inggris, Portugis, Spanyol, maupun Prancis untuk meningkatkan kekayaan nasionalnya. Melalui daerah koloni ini mereka mendapatkan pasokan sumber daya berupa bahan mentah yang diproduksi oleh mereka dan kemudian dijual kembali dalam bentuk barang jadi yang diekspor kepada daerah koloni.

Melalui kepemilikan wilayah koloni, neraca perdagangan negara-negara pemilik wilayah mengalami surplus yang besar. Hal ini yang kemudian membuat munculnya keyakinan bahwa tidak aka nada negara besar yang mampu hidup secara mandiri tanpa pasokan sumber daya dari daerah koloni. Keyakinan ini yang membuat berbagai negara seperti Inggris, Portugis, Spanyol, maupun Prancis berlomba untuk membatasi koloninya dalam menggunakan uang dan mendistribusikan aset mereka. Negara-negara ini terus berupaya untuk dapat mempertahankan daerah koloninya dengan berbagai cara salah satunya dengan dibatasinya perdagangan di daerah koloni yang kemudian menjadi penghambat dalam kebebasan dan pertumbuhan bisnis milik daerah koloni. Berbagai pelanggaran HAM juga terjadi di berbagai daerah jajahan seperti Asia, Afrika, dan Amerika. Meskipun pada dasarnya merkantilisme tidak pernah merasionalkan hal-hal tersebut.

Perdagangan yang terjadi pada masa itu tidak hanya dilakukan dengan menukar barang dengan uang, tetapi juga dilakukan dalam bentuk perdagangan budak. Inggris menjadi salah satu negara yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Hal ini dilakukan dalam bentuk perdagangan tiga sisi yang dilakukan oleh Inggris pada abad ke 17. Ketiga sisi tersebut meliputi Inggris, daerah koloni, dan pasar luar negeri. Berbagai budak diangkut dari wilayah Afrika yang kemudian dijual ke berbagai wilayah. Hal ini dapat dengan nyata dilihat pada Perusahaan milik Inggris yang bernama Royal Adventures Trading to Africa dan kemudian berganti menjadi Royal African Company yang diberikan hak monopoli khusus dalam perdagangan budak pada abad ke-17. Puncaknya pada tahun 1698, setiap warga negara Inggris diberikan hak untuk melakukan perdagangan budak. Inggris kemudian juga membuat berbagai kapas besar yang dapat mengangkut sebanyak 40.000 budak dari dan menuju pelabuhan Inggris.

Peredaran uang kertas juga dianggap sebagai bentuk langkah dari negara kolonial untuk membatasi peredaran emas dan perak batangan di daerah koloni. Hal ini dikarenakan berbagai daerah koloni sering mempunyai sisa emas dan perak dan batangan yang sebenarnya bisa beredar pada pasar mereka sendiri. Untuk mengatasi hal itulah akhirnya terbit uang kertas yangmana menjadi cikal bakal terjadinya inflasi. Kebutuhan negara kolonial tidak berhenti hanya pada pencetakan uang kertas, tetapi juga pada penetapan berbagai pajak yang sangat tinggi. Hal ini tentunya dikarenakan kebutuhan mereka untuk menopang kebutuhan perang yang hampir terjadi setiap saat pada saat itu.

Berbagai bentuk tindakan telah mengakibatkan kesengsaraan pada daerah koloni. Kolonialisme sendiri dianggap sebagai bentuk dampak langsung dari pendeketan merkantilisme. Sejarah telah melihat bagaimana kolonialisme telah terjadi pada hampir wilayah di dunia, mulai dari Amerika hingga Asia. Tujuan utamanya tentu berfokus pada uang. Berbagai cara dilakukan hingga mengesampikan berbagai hal seperti Hak Asasi Manusia dan kepemilikan individu. Hal ini yang membuktikan bahwa perdagangan tidak dapat menjadi satu-satunya tolak ukur dalam melihat keberhasilan sebuah negara. Kolonialisme telah menciptakan konflik berkelanjutan di setiap daerah koloni. Konflik tersebut tentu merupakan sebuah kewajaran sebab setiap wilayah pasti menginginkan yang terbaik bagi diri mereka sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun