Mohon tunggu...
aria gardhadipura
aria gardhadipura Mohon Tunggu... lainnya -

...melahap dunia menjadi pertandingan sepakbola penuh suporter yang siap membunuh jika papan skor tak sesuai selera... (homicide)

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

(Not Just) Me and The City

16 Mei 2012   16:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:12 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

After a long wait

Not in my lifetime, kalimat tersebut diucapkan oleh Sir Alex Ferguson (SAF) ketika ditanya pendapatnya tentang bagaimana peluang City di musim ini (2011/2012) untuk menjadi yang terbaik di Inggris. Ya, dengan sangat jelas, sambil beranjak dari tempat duduknya, SAF mengucapkan kalimat tersebut, kalimat yang bermakna “sangat mustahil bagi City untuk bisa berada diatas United”. Sama halnya dengan perkataan dari salah satu pemain legend United di era 90-an yang (kurang lebih) pernah mengatakan bahwa ancaman United adalah Arsenal dan Liverpool, City bukan ancaman sama sekali.

Minggu kemarin (13/05) mungkin adalah hari paling dramatis di jagad sepakbola dunia, khususnya sepakbola Inggris, dimana akhir dari kompetisi Barclays Premiere League ditandai dengan lahirnya juara baru, Manchester City, si biru yang selama ini ditinggalkan, diremehkan dan dianggap bukan ancaman selama kurang lebih setengah abad oleh para tim besar di Inggris, khususnya sang tetangga yang sangat superior, Manchester United.

Not in my lifetime, seperti yang SAF katakan, hal tersebut direspon dengan ejekan satir fans yang melempar poster bertuliskan “RIP Fergie” kepada Carlos Tevez yang sedang berada di atas bus pawai City yang sedang merayakan juara ketiga kalinya di tanah Inggris. Jika ada istilah “menelan ludahnya sendiri” mungkin SAF benar-benar harus “mati” karena telah mengatakan City tidak mungkin berada di atas United selama dirinya masih hidup. Saya belum bisa percaya sepenuhnya pada keajaiban, tapi momen ketika Aguero melesakan bola ke gawang QPR di menit 94 hari minggu kemarin membuat saya sadar, bahwa keajaiban itu pasti ada, seperti yang dikatakan Kompany ketika diwawancara setelah pertandingan kemarin berakhir, “keajaiban itu memang ada di Manchester (City)”.

Mundur beberapa tahun kebelakang, kenapa saya bisa menyukai City pun datang dari sebuah keajaiban yang dapat dikatakan lumayan konyol, entah bulan apa, yang jelas adalah ketika tahun 2009, ketika saya masih duduk di bangku kuliah tingkat akhir, tinggal mengerjakan skripsi dan tidak ada kerjaan lain selain skripsi. Saya begadang di warnet milik teman saya, berkumpul sambil ngobrol dengan teman-teman saya yang sibuk bermain kartu remi sambil menyaksikan siaran Liga Inggris dimana City dan Arsenal sedang bertanding.

Saat itu adalah saat “hiatus”, dimana saya sedang tidak terlalu memperhatikan sepakbola Inggris sama sekali, perlu diketahui, saya tidak pernah menjadi suporter setia tim-tim tertentu, tapi karena saya tumbuh besar diiringi dengan kehebatan United ketika masih ada Beckham, saya pun menjadi penggemar setan merah saat itu. Kehebatan mereka menjadi juara treble di awal millenium sudah tidak terbantahkan lagi, saya yang tidak pernah menyaksikan saat-saat itu karena masih kecil dan tidak tahu apa-apa soal sepakbola tetap kagum akan kehebatan United.

Ya, United menjadi tim kuat dan tempat berkumpulnya pemain-pemain hebat, sampai era Ronaldo, saya masih setia menonton beberapa pertandingan United. Tapi sejak kepindahan Ronaldo, disitu pula saya jadi kurang memperhatikan kembali aksi si setan merah, dan disaat itu pula saya sudah tidak begitu peduli dengan sepakbola Inggris. Kebosanan saya melihat aksi kick & rush sudah mencapai puncaknya ketika melihat timnas Inggris tidak bisa berbicara banyak di kancah internasional, saat itu saya jatuh hati pada timnas Jerman, dimana kebetulan saya pernah kuliah bahasa Jerman di UPI bandung.

Kembali ke malam dimana saya sedang begadang bersama teman-teman sambil menyaksikan City Vs Arsenal. Teman saya, Peyeum mulai berkomentar karena saya lupa pada saat itu kedudukan City dan Arsenal entah berapa-berapa, dan Peyeum mulai berceloteh, “ini nih pemain gw” (sambil menunjuk Kompany), kemudian ia mulai bercerita lagi tentang hebatnya seorang gelandang tengah berkepala plontos (sambil menunjuk Ireland) dan puncaknya adalah ketika Robinho memasukan bola dengan chop kick, mengecoh kiper Arsenal saat itu dan membuat City menang.

Saat itulah, di pagi buta itulah, saya terpaku di depan layar kaca melihat City yang bermain lepas didukung dengan komentar Peyeum yang memberikan “secuil” info tentang City yang sedang bermain. Ketika itu saya tidak pernah tahu sama sekali bahwa City sudah dimiliki oleh seorang milyuner Arab, Sheikh Mansour. Ketika itu saya tidak pernah tahu bahwa sebelum Sheikh datang, adalah Perdana Menteri Thailand yang menjadi pemilik City. Saya hanya tahu bahwa Sven-Göran Eriksson pernah menjadi pelatih City dan dua punggawa Oasis, Gallagher bersaudara adalah die-hard fans dari City. Selebihnya saya tidak pernah tahu-menahu soal tim yang identik dengan warna biru langit ini.

Perlahan-lahan, saya mulai mengikuti kembali Liga Inggris, saya mulai memasang sebelah mata saya untuk menyaksikan pertandingan City yang jarang sekali diputar saat itu. Saya mulai aware dengan kehadiran Craig Bellamy si “anak hilang” dari Liverpool yang mempunyai kontribusi begitu besar pada City saat itu. Kemudian datangnya Tevez dan Silva merubah semuanya. Ketika itu saya masih belum tahu bahwa Sheikh yang menjadi pemilik City adalah orang yang sangat kaya (sekali), pembelian Tevez ataupun Silva tidak pernah saya anggap menjadi pembelian “mahal”, saya menganggap hal tersebut wajar dan sah-sah saja.

Tahun 2010 adalah puncaknya, saya lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan baru di Kompas.com di Jakarta, walau hanya menjadi seorang admin kanal blog Kompasiana, saya duduk bersama tidak jauh dari meja para reporter dan editor yang mengurus Kompas.com. Jam kerja saya yang dibagi menjadi tiga shift kadang harus membuat saya menjadi seorang “lelaki malam”, dimana saat itulah saya tidak pernah ketinggalan satu pertandingan bola liga manapun yang biasa ditayangkan malam-malam, termasuk pertandingan-pertandingan City.

My version of the most humble player in city

Mungkin di tahun 2009 saya mulai mengenal City dan sedikit tahu siapa saja orang-orang hebat dibalik tim yang pernah menjuarai Liga Inggris tahun 1968 ini. Di tahun 2009 saya mulai berdebat konyol di timeline Facebook setiap pertandingan City disiarkan bahwa tim kotamadya (City) selalu lebih hebat dari tim kabupaten (United), di saat itu juga saya tahu bahwa gaji Yaya Toure seorang sama dengan gaji sebelas pemain tim promosi Blackpool. Tapi saya tidak pernah membahas uang itu datangnya darimana, yang saya tahu adalah, ada seorang milyuner Arab dan saya enjoy menyaksikan setiap pertandingan City yang menghibur.

Puncaknya adalah ketika tahun 2010 dimana saya melihat kehebatan si anak hilang, Tevez menjadi ujung tombak City. Saya tidak pernah bertanya-tanya kemana perginya Robinho dan mengapa Bellamy jadi makin sering duduk di bangku cadangan, kehadiran Tevez menjadi sorotan saat itu, jika Tevez ada, hampir dipastikan dia bisa membuat gol, apalagi dibantu dengan kehadiran Silva yang sebenarnya bagi saya tidak terlalu “wah!” saat itu, tapi bisa membuat pakem kick & rush seperti dikesampingkan oleh seorang pelatih City saat itu, yang tidak lain adalah Roberto Mancini.

Seiring tahun 2010 berjalan saya mulai rajin main master league di PES 2011 menggunakan City. Ya, saya berhasil menamatkan satu season di master league dan menjadi juara (level top player!) menggunakan City dua tahun yang lalu, hampir tidak percaya, padahal sekarang main satu pertandingan saja malasnya minta ampun. Tapi intinya, entah kenapa saat itu perhatian saya hanya tertuju pada City, tanpa mengetahui seluk-beluknya lebih dalam lagi, yang penting tahu Tevez dan Silva tanpa memperhatikan kontribusi Yaya Toure sama sekali saat itu.

Waktu berjalan cepat, City menjuarai FA, menang atas United di semifinal dan saya mulai aware dengan beberapa pemain City yang bermunculan seperti Balotelli, Kolarov, Lescott, Richards, Dzeko dll. Kemudian saya mulai mengikuti polling di berbagai macam media olahraga online yang menanyakan siapa pembelian City terefektif musim ini (2010/2011)? Saya tanpa ragu memilih James Milner, pemain yang tidak pernah terlihat capek, dan entah kenapa saya saat itu memilih Milner, karena saya lebih sering melihat dia berada di lapangan, entah itu dibelakang, ditengah maupun didepan.

The prodigal son of all prodigal son

Pemain terus bermunculan, hingga akhirnya membentuk skuad seperti sekarang ini, dari mulai kedatangan Nasri yang membingungkan sampai kehadiran Aguero si anak ajaib dari tanah Spanyol. Ketika itu, saya tidak terlalu peduli dengan kedatangan Aguero, saya pikir Tevez seorang saja bisa membuat City berada di peringkat ketiga musim lalu, oleh karena itu saya paling sedih ketika insiden Tevez dan Mancini menyeruak akhir tahun kemarin, saya menyaksikan kehebatan Tevez semusim penuh, membawa City menjadi tim yang lumayan mulai dipandang lagi oleh tim lawan, ya, sebrutal apapun tindak tanduk Tevez, dia tetap menjadi pahlawan sejati saya yang berhasil membawa city from zero to “almost” a hero.

Waktu terus berjalan sampai puncaknya tanggal 13 Mei kemarin. Di hari itulah saya benar-benar tegang bukan main ketika menonton City bertanding melawan QPR di kandang sendiri, kandang yang angker bagi tim sekuat United sekalipun. Not in my lifetime ujar SAF, tapi saya bersyukur bisa melihat City juara selagi saya masih hidup. Benar-benar musim yang gila seperti yang banyak orang bicarakan, bahkan mengalahkan momen gol injury time United ke gawang Muenchen ketika tahun 99 bagi beberapa orang.

Hal tersebut benar adanya, tim yang saya saksikan tumbuh besar selama empat tahun ini benar-benar menghibur saya dengan sepakbola “campur sari” ala Mancini, tidak selamanya kick & rush, bahkan bisa dibilang ketika Nasri hadir, City jadi makin sering bermain bola-bola pendek ala Barcelona, jauh dari pakem sepakbola Inggris yang cepat dan frontal. Saya makin terhibur, gairah saya menonton Liga Inggris makin meningkat, kehadiran Totenham yang sejak tahun 2010 menjadi ancaman membuat saya makin suka dengan tim-tim selain “The Big Four” yang telah mendominasi klasemen Liga Inggris bertahun-tahun. Saya mulai melirik Everton, bahkan Newcastle selalu menjadi tim favorit saya jika sedang bermain PES melawan teman-teman semasa kuliah.

Disaat itu saya sudah melupakan United, sudah tidak tahu menahu siapa lagi penerus tahta Ronaldo di United dan secara tidak langsung saya jadi tidak begitu respect kepada suporter United melihat saat itu mereka terlalu “vokal” dan menganggap remeh tim lain. Tapi di tahun ini mungkin rasa hormat saya jadi makin berkurang kepada SAF dan beberapa pemainnya. Penyataan-pernyataan arogannya seperti “not in my lifetime”, “noisy neighbor” serta “temple of doom” (julukan Etihad Stadium dari SAF) membuat saya kecewa terhadap United, ataukah ini kenyataanya? Kenyataan yang tidak pernah saya lihat ketika saya masih duduk di bangku SMP dan terdiam takjub melihat United bermain saat itu. Entahlah, begitu banyak pernyataan arogan dan tindakan kontroversial yang muncul dari United, bahkan istilah “fergie-time” dan “Howard Webb is united’s 12th player” pun muncul dengan sendirinya dari sana, bahkan sudah menjadi bahasa umum para komentator dan kritikus olahraga di Inggris sana.

Ya, di tahun inilah saya kecewa terhadap United, tim yang dulu saya kagumi berubah menjadi tim yang identik dengan kontroversi halus, dari mulai masuknya Ashley Young kedalam nominasi “school of diving” versi media online bola ternama di luar sana sampai pernyataan SAF yang mengatakan bahwa tim berkocek tebal mengacaukan bursa transfer pemain, pernyataan yang diamini oleh hampir semua pecinta sepakbola Inggris sebagai penyataan paling hipokrit dari SAF yang serasa melemparkan bola liar kepada City yang bisa sukses karena disokong dana tidak terbatas.

Apakah para suporter United (yang sebaya dengan saya khususnya) tahu bagaimana sejarah timnya terbentuk? Entahlah, yang jelas saya masih maklum jika ada suporter United yang dibawah saya umurnya masih berkoar-koar City adalah tim instan yang kaya raya, saya abaikan, karena saya tahu mereka hanyalah suporter yang sama seperti cacian mereka sendiri kepada suporter City, glory hunter. Tapi jika suporter United yang sebaya dengan saya atau diatas umur saya masih berkoar-koar tentang hal tersebut, maaf saja, saya malu kenal dengan anda.

The “foot of god”, the moment that change history, the moment that made me cry

The three saviour

Not in my lifetime, ucap SAF sambil menyaksikan situasi yang ia harap tidak pernah terjadi. Gol ketiga dari kaki Aguero membuat everything is possible, lima menit terakhir yang terjadi di Etihad Stadium saat itu menunjukan bahwa inilah sepakbola, lahir karena passion dan hasrat ingin menang dan menyenangkan para suporter. Momen itulah yang membuat saya terdiam sesaat, inikah rasanya menjadi suporter City? Saya mungkin belum berusia 44 tahun, tapi saya sudah berusia 4 tahun ketika menjadi penggemar City sampai sekarang, saya merasakan sesuatu yang sangat dramatis saat itu, perasaan saya bak diaduk-aduk di pertandingan paling bersejarah di Liga Inggris kemarin.

Saya melihat seorang pria setengah baya yang memakai baju City bertuliskan “I’ve been there, 13-05-12” duduk terdiam di atas rumput hijau sambil menangis ketika yang lain sedang bersorak sorai, gembira dan terlarut-larut dalam pesta terbesar selama hampir setengah abad penantian. Ya, saya mengerti perasaan pria tersebut, bagaimana rasanya menjadi suporter City yang selalu dicaci maki, ditertawakan, diejek dan tidak dianggap oleh para suporter united selama 20 tahun lamanya sampai akhirnya bisa merasakan, inikah rasanya jadi juara? “The mockery is over” ujar Martin Samuel ketika mengekspresikan kemenangan City bagi para suporter setia di artikel yang ditulisnya tidak lama ketika Kompany mengangkat piala perak tersebut.

Bagi saya pribadi, City memang pantas juara tahun ini, dari semua pertandingannya yang sempat saya tonton di musim ini, City selalu bermain lebih impresif dan lebih menghibur dari sepakbola yang dimainkan tetangganya. Entah apa yang bakal keluar dari mulut SAF jika United yang jadi juara kemarin, saya berharap dengan kemenangan City menjadi kampiun baru di Inggris bisa membuat SAF sadar bahwa idiom “mulutmu harimau-mu” itu benar adanya.

The architect of dream team

City memang pantas juara, tertinggal delapan poin bagaikan jatuh ke jurang terdalam tapi berhasil selamat dan bangkit kembali. City selalu bermain lebih baik, satu-satunya kontroversial yang ada adalah dari dalam timnya sendiri yang saya juga akui memang konyol dan merugikan, menurut saya tindakan liar Balotelli dan perbuatan radikal Tevez adalah satu-satunya catatan hitam yang dimiliki City, selain itu? Saya berani jamin tidak ada sesuatu yang diluar batas seperti hal-hal konyol diving hingga “fergie-time”, bahkan “city-time” kemarin pun terjadi murni karena kegilaan Joey Barton. Jika ingin menilai secara objektif, saya berani jamin, siapapun yang suka sepakbola dan melihat pertandingan City selama musim ini pasti akan mengatakan bahwa City bermain dengan fair play (diluar catatan hitam yang saya sebutkan sebelumnya), penuh passion dan lebih indah dari rivalnya.

Sekali lagi, saya tidak mau membicarakan masalah uang, karena saya sendiri termasuk orang yang tidak setuju dengan bongkar pasang pemain yang dilakukan City, tapi mungkin hal-hal tersebut memang dibutuhkan, dan setiap tim mempunyai rejekinya masing-masing untuk bisa menjadi yang terbaik, mungkin uang adalah jalan City menuju kesuksesan, dan mungkin ini memang saatnya para pecinta sepakbola diluar sana lebih membuka mata dan berpikiran jauh kedepan terhadap apa yang terjadi sebenarnya di dunia sepakbola. Entah berapa lama saya terdoktrin dengan pernyataan-pernyataan “pembinaan pemain muda yang dilakukan United lebih baik daripada belanja besar-besaran” ketika faktanya adalah skuad yang turun melawan Sunderland kemarin lebih “mahal” daripada sebelas orang yang melawan QPR di Etihad Stadium. Ya, disitulah, jika anda memang pecinta sepakbola harus bicara berdasarkan fakta yang terjadi daripada hanya membicarakan masalah nominal dan digit belaka.

Ya, diluar berapa trilliun uang yang sudah diinvestasikan oleh Sheikh Mansour kepada City selama empat tahun ini, City telah mengajarkan saya untuk tidak berhenti bermimpi dan berharap pada keajaiban. Maybe not in your lifetime, but in my lifetime, I dare to dream like City did. Terima kasih untuk teman saya Peyeum yang telah mengenalkan saya kepada Manchester City, mungkin jika tidak ada malam itu, saya sampai sekarang masih tidak peduli dengan yang namanya sepakbola.

Bluemoon rising

YESSS!!!

Money can’t buy happiness, but in this case, I believe money can give you a little hope to become better than before.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun