Kekasih, selamat malam.
Halus hembus malam ini, beranjak sepi. Meninggalkan segudang kerinduan yang tak terelakan keberadaanya. Kekasih, maafkan aku yang sembari lari sejenak darimu. Saat-saat itulah aku memantaskan diriku agarlah pantas menjadi pendampingmu. Kekasih maafkan aku yang selama ini medurhakai segala kerinduanmu. Karena memang, biarlah sampai luapa rindu kita terbendung dan nantinya meluap pada waktu yang tepat. Kekasih, ku mohon jangan hardik aku dengan kenangan dan jangan hukum aku dengan kerinduan, dan jangan pula sudutkan aku dengan sudut senyuman.
Kekasih, dihadapanmu, aku hanya terdakwa atas kerinduan. Di hadapanmu aku hanya gulma yang najis dengan rasa pengharapan. Pantaskah aku bersanding bersamamu? - aku tak mengharapkan kecantikanmu, dan aku pun tak kan menolak keburukanmu. Yang ku inginkan hanya bersanding denganmu. Yang tentu dengan caraku -mencintamu dalam diam- di remang cahaya malam gugus gemintang nampak sendu tak terbalas tuntang. Dedaunan sendu-sedan tertiup angin selepas hujan semalam. Entahlah! Aku hanya kehinaan dan ketidak berdayaan. Saat-saat inilah aku sengaja mengitip kecantikanmu dibalik tabir doa-doaku. Dan memastikan bahwa kau masih bersemayam dalam anganku. Kekasih, aku mencintaimu dalam kediaman bagai ikan dilautan, namun aku merindumu gemuruh bagai ombak di samudra.
Kekasih, untuk perempuan yang kusebut dalam doaku. -aku mencintaimu dalam diam-
Surabaya, 24 03 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H