Jika kita keluar kota atau berwisata pastinya salah satu incaran utamanya adalah  kuliner makanan khasnya kota/daerah itu. Makanan khas menjadi simbol dan ciri kekhasan suatu kota/ daerah yang membedakannya dengan daerah lain. Biasanya, makanan khas ini hanya terdapat disuatu tempat dan tidak terdapat didaerah lain. Kekhasan inilah yang membuat orang yang berkunjung kesuatu tempat akan berwisata kuliner atau berburu oleh-oleh untuk dibawa ketempat asalnya. Misalnya, gudeg, bakpia, geplak makanan khas Jogja, lumpia Semarang, Dawet ayu Banjarnegara, Sate Ayam Ponorogo, Soto Kediri, Getuk Goreng Sokaraja (Banyumas) dan lainnya.
Sekarang ini makanan-makanan khas daerah ini dapat ditemukan dimanapun diluar tempat asal. Keadaan demikian mempermudah masyarakat untuk menikmati kuliner khas suatu daerah tanpa harus jauh-jauh kedaerahnya tersebut.
Tetapi apakah hal ini memiliki dampak negatif pula? Tidak bisa dipungkiri jika makanan khas suatu daerah sudah mengglobalisasi kedaerah-daerah lain. Selain kemudahan yang diperoleh untuk masyarakat dalam mengkonsumsi makanan-makanan khas tersebut terdapat sisi lain yang negatif. Dengan mudahnya masyarakat dalam memperolehnya sehingga tidak lagi terkesan special. Alhasil, berdampak pada kurangnya antusias masyarakat untuk berburu ke kota/daerah asal makanan tersebut. Ini menjadikan kemalasan tersendiri sehingga peminatpun berkurang.
Anggapan ini akan semakin tertanam jika tidak ada upaya sementara semakin menjamurnya makanan khas daerah yang berada bukan pada tempatnya. Keasliannya akan terkontaminasi sehingga kekhasnya sendiri terasa memudar. Hal ini berpotensi merosotnya pendapatan penjual atau pemproduksi daerah pemilik kekhasan tersebut dan memudarnya kekhasan suatu daerah. Inilah salah satu dampak negatif yang ditimbulkan dari sekian banyak dampak dari  mengglobalisasinya makanan khas daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H