Mohon tunggu...
Arief Yudhanto
Arief Yudhanto Mohon Tunggu... -

Warga Indonesia, tinggal di Tokyo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi "Alien" di Jepang

17 Desember 2012   05:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:31 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di New York City, kita pasti anonim dan incognita (tak dikenal). Di kota yang vibrant itu, dan mungkin sudah ribuan kali masuk film-film Hollywood, hampir seluruh ras di dunia ini tumpah. Kota itu menjadi semacam mozaik etnis di mana suatu etnis tidak ada yang dominan; ia mungkin menduduki persentase terbesar terhadap etnis lainnya.

Di Jakarta, kita juga anonim (asal berambut hitam, bermata hitam, berkulit kuning, tembaga atau coklat tua). Di kota yang sesak itu, dan mungkin sudah ratusan kali masuk film-film layar lebar, seluruh etnis di Indonesia tumpah. Kota itu, seperti halnya New York City, merupakan mozaik etnis, meskipun etnis di sana tidak berasal dari pelbagai benua.

Implikasi dari hidup di kedua tempat itu adalah bahwa orang-orangnya berpikir divergen, kreatif dan heterogen. Tidak monoton atau homogen. Dengan hidup di kedua tempat itu barangkali ketika seseorang melihat orang lain, yang ada di benaknya bukan “dari negara, pulau, suku manakah ia?”. Yang ada mungkin: topik apa yang kita berdua suka bicarakan. Seandainya pertanyaan tentang negara, pulau atau suku, ia mungkin muncul belakangan. Bukan semacam precursor atau tema perkenalan. Jika sudah terasa akrab baru bisa menanyakan pertanyaan pribadi itu.

Di Jepang, pertanyaan pertama (di dalam benaknya) ketika orang Jepang melihat orang lain adalah: Apakah dia orang Jepang? Jika dia bukan orang Jepang, dapatkah ia berbahasa Jepang? Jika dia dapat berbahasa Jepang, apakah bahasa Jepangnya fasih? Apakah suami/istrinya orang Jepang?

Hal-hal yang berkecamuk di dalam benak orang Jepang ini disebut oleh seorang kolumnis di koran Japan Times (JT)bernama Debito Arudou (David Aldo) sebagai microagression atau agresi kecil.

Sedikit tentang Debito: ia pernah mengajar di salah satu universitas di Hokkaido; pernah menikahi wanita Jepang dan mempunyai anak; menjadi warga negara Jepang tapi kemudian bercerai dan keluar dari Jepang.

Di JT, tulisan-tulisannya dinilai sangat kritis dan pedas terhadap keadaan sosial Jepang. Ketika orang Jepang membacanya (atau bahkan mereka yang bersimpati terhadap Jepang), telinga bisa merah, dan api bisa keluar dari hidung dan mulut jika tidak kuat kritikannya. Tapi pembaca awam, seperti saya, sebenarnya juga merasakan juga bahwa tulisannya yang ditulis secara elegan memang ngamuk terhadap agresi-agresi kecil di Jepang.

Setelah rutin membaca kolom-kolom Debito selama beberapa tahun, saya memahami dan berbalik menyukai tulisan-tulisannya. Saya tahu bahwa Debito mungkin tidak perlu dibela seperti halnya pesakitan di kursi terdakwa. Tetapi saya merasa bahwa tulisannya berfungsi sebagai atom pengotor (seperti halnya impurity dalam logam) yang bermanfaat bagi Jepang, atau khususnya, Japan Times. Saya berpendapat bahwa tulisannya yang kritis itu, atau bahkan karakter Debito sendiri, memang sengaja diciptakan untuk mendongkrak readership (jumlah pembaca) dari Japan Times. Japan Times sengaja membiarkan Debito dibombardir banyak orang untuk menunjukkan bahwa orang asing itu selalu menjelek-jelekkan Jepang. Debito dibiarkan menjadi bulan-bulanan. Itu kemungkinan strategi pasar Japan Times. Kontroversi berita memang mendongkrak readership. Yang saya salut dari Debito adalah bahwa ia tidak bosan-bosannya menyuarakan suara gaijin. Gaijin adalah kata Jepang yang berarti makhluk asing. Dalam bahasa Inggris, secara harfiah ia berarti alien. Tulisan Debito tentunya tidak lepas dari latar belakangnya sebagai orang Amerika dari kota kecil. Seperti kata penulis Amerika, Isaac Bashevis Singer, bahwa "Every writer has a home". Setiap penulis mempunyai "rumah". Artinya, setiap tulisan yang dihasilkan oleh penulis merupakan refleksi masa lalunya, pendidikannya, latar belakangnya.

Di Indonesia, cerita historis tentang keberadaan orang asing atau gaijin memang tidak pernah dibicarakan secara serius. Jepang bagi orang Indonesia barangkali hanya bermakna: produk otomotif, elektronik, anime, komik, Maria Ozawa, gempa, tsunami dan lain-lain. Padahal isu gaijin termasuk salah satu isu serius di Jepang. Tema gaijin terlalu serius sehingga ia bisa mengacaukan selera kuliner, jalan-jalan dan citra kehebatan Jepang dengan Restorasi Meiji-nya. Gaijin adalah tema serius dan jauh lebih mengejutkan bagi saya dibandingkan Kit Kat rasa wasabi. Ia adalah tema yang hingga saya mati-pun, anak-anak kecil Jepang tetap berpikir bahwa orang di Jepang itu punya dua kategori: Japanese or gaijin. Percayalah bahwa hal seperti ini memang sangat mengejutkan di negara yang maju seperti Jepang.

Saya adalah gaijin di Jepang. Dan beberapa pengalaman ini nyata:


  • Saya harus mengurus suatu kartu tanda penduduk yang menunjukkan bahwa saya seorang gaijin. Tapi di kartu itu ditulisnya gaikokujin [warga negara asing]. Nampak lebih formal. Untungnya, tahun lalu kartu ini sudah dihapus. Diganti dengan Resident Card. Kartu Penduduk. Lebih manusiawi, bukan?
  • Di kantor, ketika saya asyik ngobrol dengan seseorang dalam bahasa Inggris, tiba-tiba seorang tamu masuk. Dia langsung bertanya, kenapa kalian ngobrol pakai bahasa Inggris. Pria setengah tua itu kemudian lihat saya. “Oh gaijin,” begitu katanya. Saya kemudian melihatnya, dan mengatakan: “Yes, I am an alien.” Dia pun ngeloyor.
  • Di ruang saya, dua orang yang jelas kurang menyukai gaijin sering bercakap-cakap. Mereka sering menyebut kata gaijin: "Gaijin itu beda. Mereka begini mereka begitu." Seolah bahwa Jepang paling bagus.
  • Di sebuah TK, saya mendadak ditanya oleh teman anak saya. Teman anak saya yang kecil dan lucu itu bertanya: Kamu gaijin ya? Ini dia hasil pendidikan anak usia dini di Jepang. Mereka sejak kecil belajar memilah bahwa orang di dunia ini punya dua kategori: orang jepang dan gaijin. Anak-anak Jepang belajar membedakan manusia sejak dini. Sejak TK. Dan ini tidak pernah berhenti. Terbawa sampai tua.

Jepang bukan Harajuku atau sushi belaka. Jepang lebih dari pornografi. Ia punya masalah besar yaitu mikroagresi. Dan ini jauh lebih mematikan. Mereka bukan bersopan santun dengan kita. Sekali lagi bukan bersopan santun. Tapi bersikap formal. Dengan bersikap formal, mereka punya jarak. Dengan punya jarak mereka tidak akan involved jika kita kena apa-apa. Mereka helpful memang, tapi itu karena by request, karena diminta, bukan karena kesadaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun