Baru tahu saya kalau mulai tahun depan (yang tinggal beberapa hari =D ) Pemerintah akan membebankan premi (depletion premi) untuk setiap pembelian BBM, yaitu sebesar Rp200/liter untuk premium dan Rp300/liter untuk solar. Mengapa harus ada premi? Karena pemerintah ingin membuat dana ketahanan energi. Dana ketahanan energi ini, menurut Menteri ESDM, akan digunakan untuk mendorong eksplorasi agar laju/tingkat deplesi (depletion rate) cadangan kita bisa ditekan sedemikian rupa dan juga untuk membangun prasarana cadangan strategis serta energi baru dan terbarukan (EBT). Dari hasil premi ini, pemerintah diperkirakan akan bisa mendapatkan dana sekitar Rp15 triliun. Suatu angka yang cukup besar. Â
Banyak pro dan kontra terkait premi ini. Yang kontra dengan kebijakan ini antara lain menyebutkan bahwa premi ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Dasar hukum yang digunakan Pemerintah yaitu pasal 27 PP 79/2014 tentang Ketahanan Energi, menurut mereka tidak sesuai. Karena yang dimaksud dalam PP 79 tersebut adalah premi pengurasan fosil, padahal BBM kita sebagian besar adalah diimpor. Ah, tetapi saya tidak akan membahas lebih jauh tentang dasar hukum dan alasan pro kontra tadi, karena saya lagi males banget membuka peraturan-peraturan yang bejibun itu =D =D . Saya hanya akan fokus ke penggunaan dana tersebut.Â
Seperti sudah disebutkan di atas, dana ini antara lain akan digunakan untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT). Di Kementerian ESDM, yang diberi tugas untuk mengurus tentang EBT adalah Ditjen EBTKE (Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi), di bawah Kementerian ESDM. Beberapa tahun terakhir, sejalan dengan semangat Pemerintah untuk mengembangkan EBT, Ditjen ini mendapatkan porsi anggaran yang cukup besar dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Tahun ini (2015) mereka mendapat anggaran sekitar Rp2 triliun. Tetapi sayangnya, sependek pengamatan saya 3 tahun lalu, jumlah anggaran yang besar tersebut tidak dibarengi dengan penyerapan yang besar pula. Tahun ini apakah juga seperti itu? Jujur saya tidak mendapatkan data lengkapnya. Tetapi jika dilihat dari penyerapan anggaran di akhir September 2015 yang hanya sekitar 25%, di akhir tahun pasti tidak akan melonjak sampai 90%. Sekadar perbandingan, penyerapan anggaran Kementerian ESDM tahun 2015 adalah 62,5%.Â
Alasan yang sering dikemukakan mengapa tingkat penyerapan rendah adalah selain kurangnya SDM, apalagi kalau bukan prosedur pengadaan yang membuat proses lelang baru bisa dilakukan di bulan April sehingga waktu pelaksanaan proyek juga mepet. Akibatnya banyak proyek yang tidak dapat terealisasi. Seharusnya alasan ini tidak perlu ada jika proyek yang terkait EBT direncanakan dengan baik, artinya proses pelelangan bisa dilaksanakan tahun sebelumnya sehingga kontrak bisa ditandatangani 1 Januari tahun anggaran berjalan.Â
Nah menurut saya di sinilah permasalahannya. Jika dengan anggaran yang hanya 2 T saja Ditjen EBTKE ‘kewalahan’, saya ngga bisa membayangkan jika mereka mendapat limpahan sebagian dana dari premi tadi. Inilah yang perlu diperhitungkan oleh Menteri ESDM. Apakah SDM yang ada sudah cukup baik secara kuantitas maupun kualitas? Jika belum bagaimana solusinya? Apakah program dan kegiatan yang akan dikerjakan atau dibangun sudah dipersiapkan secara detil? Jangan sampai program EBT yang ada hanyalah program-program yang sporadis dan tingkat ketidakberlanjutannya sangat tinggi karena tidak direncanakan dengan baik. Contohnya adalah program pengembangan energi biodiesel yang mangkrak di beberapa daerah karena ketidaktersediaan bahan baku. Sayang sekali kan.Â
Salah satu EBT yang juga perlu dikembangkan adalah panas bumi. Menurut World Bank, Indonesia adalah negara dengan cadangan panas bumi terbesar. Tetapi sayangnya pengembangan energi panas bumi sekarang ini belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Adanya permasalahan perizinan, pembebasan lahan, dan benturan kepentingan dengan institusi lain sering kali menjadi penghambat.Â
Saya bukan dalam posisi menolak kebijakan premi tersebut. Saya mendukung malah. Tetapi jangan sampai dana sebesar itu terbuang sia-sia karena perencanaan dan pengelolaan yang tidak baik. Saya optimis kok, jika sebagian besar kendala yang ada di atas dapat diatasi, dan Menteri ESDM bisa mengajak jajarannya untuk bekerja secara transparan, efektif dan efisien dalam mengelola dana tersebut, maka pemanfaatan dana untuk pegembangan energi di Indonesia akan menuju arah yang sangat positif dan masyarakat dapat segera menikmati hasilnya. Tetapi jika belum siap, lebih baik ditunda dulu. :)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H