Minggu ini anak-anak kelas 6 SD di Indonesia disibukkan dengan ujian akhir. Mulai tahun ini, ujian akhir nasional untuk SD dan sederajat dihapuskan, dan diganti dengan ujian tingkat provinsi. Penentuan kelulusannya pun ditentukan oleh masing-masing sekolah. Syukurlah. Semoga tidak ada lagi kejadian-kejadian menyedihkan yang beberapa tahun terakhir sering menodai pelaksanaan ujian nasional tersebut.
Sejenak saya ingin mengenang saat-saat sekitar 29 tahun yang lalu ketika saya pertama kali mengikuti ujian akhir. Kalau jaman saya masih SD dulu namanya Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Mata pelajaran yang diujikan ada 5, yaitu Bahasa Indonesia, PMP (Pendidikan Moral Pancasila), Matematika, IPA, IPS. Nilai Ebtanas Murni/NEM bukan menjadi satu-satunya acuan dalam menentukan kelulusan seorang siswa, tapi menjadi satu-satunya acuan dalam seleksi masuk SMP Negeri. Dan inilah yang membuat saya (dan kebanyakan teman-teman) agak tegang ketika mengikuti Ebtanas ini. Kebanyakan dari kami takut jika nilai Ebtanasnya kurang bagus, maka kami tidak bisa masuk SMP Negeri favorit. Walaupun membuat tegang, tapi Ebtanas tidak sampai membuat saya stress, tidak bisa tidur, atau tidak enak makan hehehe. Bapak dan ibu saya juga biasa-biasa saja. Paling sekali-sekali mengingatkan saya belajar. Tidak ada ketegangan dan kehebohan berlebihan yang tampak. Mungkin orang tua saya berfikir, saya pasti lulus. Karena pada saat itu jarang sekali ada anak yang tidak lulus SD.
Minggu lalu, giliran anak tengah saya mengikuti ujian SATs (Standard Assesment Tests), semacam ujian akhir SD. SATs (dibaca Sats, bukan S-A-T) adalah semacam ujian akhir nasional se-UK, untuk murid Year 6 di Primary School. Mata pelajaran yang diujikan sebenarnya hanya 2, yaitu English dan Math. Tapi jangan keburu meremehkan hehehe, karena walaupun cuma dua mata pelajaran, testnya beraneka macam. Untuk English ada test reading, spelling, grammar and punctuation, dan writing. Math-nya pun ada mental math dan 2 kali paper test. Karena bermacam-macam test, maka pelaksanaan SATs ini memerlukan waktu sekitar 4 hari.
Beberapa bulan sebelum SATs dimulai, pihak sekolah sudah melatih anak-anak dengan soal-soal SATs tahun-tahun sebelumnya. Intensitas semakin ditambah seiring dengan semakin dekatnya waktu SATs. Ibunya juga ikut-ikutan semakin cerewet menyuruh anaknya latihan soal-soal. Sebenarnya saya tidak perlu khawatir, toh SATs ini tidak menentukan kelulusan murid ataupun juga sebagai kriteria masuk Secondary School. Setiap anak year 6 saat ini sudah diterima disecondary school. Nilai SATs hanya mempengaruhi penempatan kelas mereka di secondary school nanti karena sebagian besar secondary school di Birmingham sepertinya membagi kelas berdasarkan kemampuan murid-muridnya.Tapi tetap saja, namanya orang tua dengan model agak ambisius kayak saya (ngaku hehehe), kurang afdol sepertinya kalau menjelang ujian ngga nyerewetin anak.
Seminggu sebelum ujian, pihak sekolah mengirimkan surat kepada orang tua, yang isinya mengingatkan kembali jadwal SATs. Tapi yang menarik, di surat itu, pihak sekolah berkali-kali mewanti-wanti orang tua untuk mengingatkan anak-anaknya agar jangan stress, karena dalam ujian SATs tidak akan ada yang gagal. Orang tua juga diingatkan bahwa penting bagi anak untuk tetap dibiarkan melakukan rutinitas harian seperti biasa, maksudnya jangan malah tiba-tiba disuruh belajar melulu menjelang ujian (hahaha tahu aja mereka), karena selama di sekolah mereka sudah belajar cukup keras. Karena pesan dari sekolah inilah, anak saya juga ngga mau kalau disuruh belajar di rumah, hadeuh… Namun ada satu hal yang paling mengasyikkan dalam ujian SATs ini, yaitu pihak sekolah memberikan sarapan gratis selama ujian. Anak-anak diminta datang lebih awal agar bisa makan pagi bersama di kantin sekolah. (Yang keenakan ibunya ini mah, ngga perlu repot pagi-pagi hehehe). Menunya cukup beraneka macam, ada susu, jus buah, toast bread, garlic bread, dan lain-lain.
Setiap test dibuat dengan jumlah soal yang tidak terlalu banyak, sehingga alokasi waktu untuk masing-masing test tersebut juga tidak terlalu lama. Reading misalnya, hanya menghabiskan waktu 1 jam. Spelling test, hanya 15 menit. Masing-masing paper test untuk Math hanya memerlukan waktu 30 menit. Walaupun waktu testnya pendek, bukan berarti anak-anak bisa langsung pulang begitu selesai mengerjakan ujian. Mereka akan tetap di kelas untuk belajar seperti biasa. Yang mengawas ujian pun diserahkan kepada guru-guru di masing-masing sekolah. Jadi suasananya tidak terlalu berbeda dengan hari-hari biasanya. Tidak nampak kehebohan seperti ketika saya mengikuti berbagai ujian sekolah dulu.
Saya tidak tahu apakah model seperti itu merupakan yang terbaik buat anak-anak. Mungkin betul, karena anak-anak tidak perlu merasakan ketegangan dan stress yang tidak perlu seperti anak-anak di Indonesia sekarang. Mereka tidak takut gagal, karena memang tidak ada sistem gagal. Tapi kadang saya juga berpikir, karena tidak ada tuntutan untuk berhasil, apakah itu tidak membuat anak-anak menjadi kurang keras berusaha. Karena menurut saya semangat untuk berkompetisi tetap perlu untuk anak-anak, agar mereka tahu jika ingin berhasil mereka harus berusaha dulu. Kesuksesan adalah hasil dari kerja keras perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak, agar mereka tidak menjadi generasi yang pemalas. Karena kenyataannya dengan sistem seperti itu, dari pengamatan saya, banyak generasi muda Inggris yang kurang mempunyai semangat belajar yang tinggi, kalau bukan dikatakan agak pemalas, hehehe.
Saya bukan mendukung atau menentang sistem ujian nasional seperti di Indonesia, karena setiap sistem pasti mempunyai kelebihan dan kelemahan. Saya hanya bermimpi Pemerintah bisa menciptakan sistem pendidikan yang menjamin setiap anak di Indonesia mendapatkan pendidikan yang baik sehingga menjadikan mereka sumber daya manusia yang tangguh untuk berjuang bagi kemajuan negerinya. Semoga bukan cita-cita yang terlalu muluk…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H