18 Agustus 1945 Republik ini akui dunia Internasional melalui konfrensi mejah bundar. PBB mengamini berdirinya Negara Republik Indonesia di antero jagat ini. Pengorbanan jiwa, raga dan harta rakyat Indonesia terbalas dengan sebuah kemerdekaan.
Drama penderitaan dan penindasan yang dilakukan penjajah menjadi catatan tersendiri dalam sejarah bangsa ini. System kerja paksa yang dialami generasi masa lalu bangsa ini membuat trauma berkepanjangan. Untuk membangun bangsa ini, Penjajah menguras keringat nenek moyang bangsa ini hingga yang tersisah kulit kering keriput sebagai persembahan bagi generasi sekarang.
18 Agustus 1945 penjajahan itu berakhir. Namun penjajahan sesungguhnya baru lahir. Atas dalih system ketatanegaraan rakyat ini mulai mengalami masa-masa mencekam. Drama penjajahan untuk bangsa ini seolah tidak berujung pangkal. Presiden Soekarno harus mengakhiri babak kekuasaan melalui intrik Nasakom. Namun bukan Nasakom yang menyakiti rakyat Indonesia, kelangkaan bahan-bahan pokok yang memicu kenaikan harga membuat rakyat tidak punya pilihan lain selain harus kembali berjuang.
Soekarno pergi, Penjajahan baru lahir. Namun semua yang terjadi sedikit lebih indah. Pemerintahan menjajah Bangsanya sendirin dengan konsep Pemerkosaaan. Rakyat menderita dan dipaksa menikmati penderitaan itu sebagai sebuah konsekuensi pilihan menjadi rakyat Indonesia. Ketika slogan “Hidup atau mati” menjadi spirit perjuangan mengusir penjajah, Resim Seoharto menjadikan slogan ini untuk mempertahankan kekuasaan, sekali lagi rakyat tidak peduli. Hanya kehidupan yang layak yang telah direbut membuat mereka berperilaku brutal dan mengakhiri era emas Orde Baru.
Penjajah baru lahir di tahun 1998, penjajah itu bernama reformasi. Slogan Bhineka Tunggal Ika direformasikan, dan lahirnya system Otoda. Pembentukan kerajaan kecil sebagai konsep persamaan kekuasaan lebih besar. Pemerintahan pusat lebih sibuk mengurusi popularitas Partai dan mengisi upetih untuk kejayaan kelompoknya.
Negara dengan mayoritas penduduknya terkenal dengan toleransi dan saling menghargai pun ikut direformasi. Toleransi antar umat beragama mulai terkikis, toleransi akan kebangsaan telas dihapus. Yang kita sukseskan hanyalah egoism antar kelompok dan memaksakan diri paling benar. Kemana nilai-nilai toleransi itu. Toleransi itu hanya untuk mereka para pejabat pemerintahan yang selalu menuntut toleransi atas kesalahan dan kebiadaban yang mereka lakukan. Para pelaku korupsi melalui antek-anteknya menyebur slogan saling menghargai. Lantas kemana saling menghargai untuk rakyat kecil.
Drama ini tetap berjalan dan entah kapan episode akhir drama ini. Kita berdoa saja semoga tuhan kembali lagi tidak mengakhiri episode ini dengan bencana tsunami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI