Mohon tunggu...
Arham Kendari
Arham Kendari Mohon Tunggu... -

follow me @arhamkendari

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tukang Minyak Wangi dan "Story Board" Hidup

15 Februari 2014   06:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48 1315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Foto ini diambil sekitar awal tahun lalu, tapi saya baru keingat posting sekarang. Sebelah saya itu mantan Ketua Osis yang cukup cerdas di jaman sekolah dulu. Mukanya sengaja saya mozaik, bukan karena pelaku asusila, atau bintang film JAV. Ya cuma gak enak aja sama orangnya.

Saya cukup shock mendapatinya menggelar lapak meja kecil dan jualan minyak wangi eceran di depan pasar. "Keras kehidupan, teman!" ujarnya bernada pembelaan, padahal gak ada yang salah dengan apa yang ia lakukan. Di jaman nabi malah berdagang seperti ini adalah sebaik-baik pekerjaan. Kesalahannya mungkin hanya karena berada di tempat yang kurang tepat jika mengingat potensi yang ia miliki untuk mendapatkan karir yang lebih bergengsi. Atau kesalahan boleh jadi ada pada budaya kita dalam dikotomi pekerjaan. Atau kesalahan bisa juga ada pada sudut pandang saya yang dhaif, wallahualam.

Saya gak bilang kerjaan saya sekarang bergengsi, tapi setidaknya bekerja kantoran dan makan gaji bulanan masih lebih dianggap sebagai sebuah pekerjaan beneran oleh sementara orang hingga kini (cih, sombong). Hehe.. Tapi ini serius, survey membuktikan status karyawan kantoran masih jadi standar kelayakan untuk di-ACC-nya "proposal" oleh mayoritas calon mertua. (kecuali calmer yang ngerti penghasilan freelancer pemain SEO)

Sebelum bertemu teman ini, kebetulan saya juga bertemu teman yang lain, mantan juara kelas di SMA yang sudah bertahun-tahun menjadi tukang ojek. Agak miris sebenarnya. Apa yang didapatkan pada sekolah formal ternyata gak sepenuhnya menjamin masa depan. Dan saya yakin ini bukan cuma saya yang mengalami. Coba cari teman-teman anda yang dulu berprestasi, di mana sekarang mereka? pastinya gak semua yang mengecap kesuksesan. Bekerja keraspun belum tentu jadi orang. Disiplin ilmu juga gak selamanya menentukan.

Teman-teman saya kuliah di arsitek dulu nyebar secara absurd, ada yang jadi PNS, ada yang di KPU, ada surveyor perkreditan, ada yang kerja di bengkel, salon, dan saya sendiri malah jadi kartunis plus layouter merangkap pemburu side job serabutan. Hiks..

Tapi saya pikir ini sah-sah s aja, selama saya masih bisa memilah (bukan memilih), mana pekerjaan yang kiranya masih cocok buat saya lakukan. Kere-kere begini, saya pernah menolak pekerjaan menulis skenario sinetron stripping dengan iming-iming bayaran yang gak sedikit, hanya karena kepikiran dampak mudharat jangka panjang yang ditimbulkan. Ini salah satu keputusan tepat yang saya banggakan dalam hidup, selain keputusan menikah, dan keputusan meng-unfollow Farhat Abbas dari twitter.

Padahal, sekelas selebriti papan atas saja masih banyak yang terkesan serampangan dalam menerima job. Betapa gelinya saya ngelihat aktor watak sekelas Deddy Mizwar yang joget-joget mengenaskan di iklan sosis, atau Afgan yang menurunkan kelasnya dengan bernyanyi jingle iklan "bukan cincau biasa". Tapi sudahlah, toh mereka juga pasti punya alasan melakukannya. Mumpung ada peluang, peluh yang menghasilkan uang.

Eh iya, kemaren di facebook, saya sempat sebel baca salah satu komen di postingan saya yang promosi buku terbaru saya. "Lu tambah kaya dong sekarang?" katanya. Ya Alloh, apakah tujuan hidup ini hanya buat kaya doang? Kalo ukuran kekayaan adalah duit semata, sorry .. ibaratnya saya masih jauh panggang dari sate madura. Tapi kalo parameternya selain itu, alhamdulillah saya udah lumayan merasa kaya lah. Punya istri sholehah yang pinter masak dan gak doyan ngemall, ngemil, dan ngomel. Punya anak lucu, kurang apa lagi coba? Orang kadang gak nyadar kalo materi berlebihan itu juga sebenarnya cobaan. Andai saya dikasih kekayaan harta berlimpah, siapa yg menjamin besok-besok misalnya saya gak bagi-bagi mobil ama artis atau nikah siri ama penyanyi dangdut? ini cuma misalnya loh yah.. (istri di rumah, stalking postingan gak ya?)

Banyak sebenarnya orang yang punya potensi tapi justru gak pandai memanfaatkan peluang, hanya memasrahkan masa depannya pada garis tangan (kecuali caleg yang memasrahkan masa depannya pada garis bibir, yaitu seberapa lebar tarikan garis bibir pada sunggingan senyum baliho). Padahal Rasulullah saja pernah menegur orang di dalam mesjid yang hanya terus-terusan pasrah dan larut dalam doa tanpa ada upaya untuk berikhtiar ngasih makan anak bininya.

Saya pernah dikasih kata-kata bijak oleh seorang ahli ibadah, katanya tikus aja udah disiapkan rejeki oleh Sang pencipta, gak bakalan kekurangan makanan, jadi gak usah takut. Langsung saya balas, iya itu bener, tapi kalo tikus kelamaan diem bisa juga dicaplok kucing. Walhasil yang ngasih nasehat justru mingkem.

Pasrah dalam bekerja apalagi jika bekerja gak sesuai disiplin ilmu sebenarnya gak masalah, yang penting gak menyimpang secara moral dan agama, punya kemampuan di bidangnya, nyaman melakukannya, dan gak berhenti mencari passion, tentunya.

Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi, salah satu imam mazhab, justru menemukan passion-nya menjadi imam besar di saat usianya sudah menginjak 40 tahun. Sebelum itu ia hanyalah penuntut ilmu biasa.

Bahkan ada yang menemukan passionnya menjadi vokalis justru setelah dua periode duduk di kursi presiden, ada juga yang sebenarnya passionnya adalah fotografer tapi malah nyasar jadi ibu negara. Di daerah saya ada bupati yang passionnya jadi broker tambang, di televisi malah ada tukang sulap yang merasa cocok jadi ustad.

Jadi intinya sebenarnya pengendalian diri. *hloh?*
Maksud saya, diri dan masa depan kita ya hanya kita yang bisa mengendalikan. Membiarkan hidup mengalir tanpa perencanaan-perencanaan itu juga gak bagus buat dipertahankan. Saya sendiri yakin gak akan selamanya dengan pekerjaan yang sekarang. Saya masih nyari-nyari apa passion gw sebenarnya. Saking seriusnya mencari passion, saya sampe bela-belain ikut passion show di atas catwalk. Eeh sorry, itu fashion yak?

Pernah beberapa kali saya mikir untuk resign hanya karena jenuh, stagnan, dan merasa kurangnya penghargaan, tapi akhirnya saya gak menemukan kesempatan dan alasan yang lebih tepat untuk membenarkan. Saya kembali mikir bahwa ini mungkin hanyalah mood yang berfluktuasi. Toh kalo bisa nyari sampingan sambil tetap bertahan jadi karyawan, kenapa nggak? Lagian Robert Kiyosaki bukan nabi yang mesti didenger nasehatnya "jangan mau lama-lama jadi karyawan".

Yang penting sekarang mulai kencangkan ikat pinggang, hentikan ongkang-ongkang. Gak ada kata terlambat untuk merevisi masa depan. Film aja pake story board, masa kita nggak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun