Pendahuluan
Divisi Hubungan Internasional Polri dan Interpol
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memiliki unsur atau perangkat yang menjadi penghubung dalam konteks peristiwa ilmu hubungan internasional. Perangkat yang dimaksud terdapat pada Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri. Secara spesifik, divisi ini memiliki sembilan misi dalam realisasi pelaksanaan visi kerjasama dan penegakkan hukum dalam ranah internasional. Pada kesempatan ini, penulis akan menyebutkan tiga misi relevan dengan topik yang akan dibahas, yaitu: (1) melaksanakan kerjasama internasional dengan organisasi pemerintah dan nonpemerintah baik secara bilateral maupun multilateral;
(2) melaksanakan kerja sama dengan kepolisian negara sesama anggota The International Criminal Police Organization (ICPO-INTERPOL) dan The Asean Chiefs of Police (ASEANAPOL) dalam upaya memonitor, mencegah dan memberantas kejahatan transnasional dan internasional; dan (3) melaksanakan kerja sama internasional dalam upaya turut serta menjaga perdamaian dunia (NCB-INTERPOL, n.d.).
Hubungan Kerja Mereka Melalui Konvensi PBB
Sesuai dengan misi tersebut, Indonesia dapat bekerja sama dengan kepolisian negara lain demi menuntaskan tindakan kriminal internasional yang sudah mengacu kepada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 4/Res/55/2S pada tanggal 8 Januari 2001, yang menyebutkan bentuk-bentuk kerjasama internasional, antara lain:
(1) ekstradisi; (2) bantuan timbal balik dalam masalah pidana; (3) pemindahan proses hukum suatu perkara pidana; (4) pemindahan narapidana; (5) pertukaran informasi dan intelijen mengenai kejahatan; (6) kerjasama penegakan hukum; (7) bantuan perlindungan terhadap saksi; (8) pengembalian hasil kejahatan; (9) pelatihan; dan (10) bantuan teknis (Manullang, 2019 dalam Hassan dan Naramurti, 2013).
Konvensi tersebut melahirkan dasar dari pihak kepolisian untuk menangkap buronan internasional, salah satunya ialah Muhammad Nazaruddin. Kasus yang kontroversial tersebut dapat dicantumkan ke dalam buku sejarah dengan premis kejanggalan dalam penanganan buronan/koruptor di lingkup internasional. Maka dari itu, perlu ada kajian mengenai kebenaran dari kebenaran dalam kinerja Polri dan Interpol dalam menangkap Nazaruddin. Hal ini tentunya akan menyinggung pilar epistemologi dalam filsafat ilmu sehingga diharapkan akan menambah pengetahuan bagi pembaca secara sistematis dan komprehensif.
Memulai Pilar Epistemologi
Apa yang ada?
Apa yang sebenarnya terjadi?
Cerita Nazaruddin Dimulai
Perjalanan dimulai dari perencanaan pembangunan Wisma Atlet untuk menjadi fasilitas acara The Southeast Asian Games (SEA Games) 2011 di Palembang. Proses pembangunan fasilitas bagi atlet tersebut tidak terlepas dari kejanggalan. Hal ini dibuktikan dengan adanya indikasi korupsi dan kolusi yang menyangkut beberapa politisi dan tokoh terkenal di negeri ini. 21 April 2011 merupakan titik awalnya dari perjalanan yang menggoyahkan masyarakat Indonesia.
Dilansir dari Detik (2012), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap Mindo Rosalina Manulang, Wafid Muharam, dan M El Idris. Kala itu, masing-masing adalah seorang anak buah Nazaruddin di PT Anugerah Nusantara, Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Sesmenpora RI), dan petinggi PT DGI terkait proyek Wisma Atlet SEA Games.
Sang Maestro
Dari titik awal tersebut, muncul jawaban dari pertanyaan konsep epistemologi yang telah disebutkan, yaitu korupsi dan kolusi terjadi. Namun, jawaban belum komprehensif karena cerita dari 'Sang Maestro' baru dimulai. Nama Nazaruddin pun akhirnya muncul ketika ada investigasi bahwa ia terlibat dengan kasus korupsi. Mei 2011 adalah titik selanjutnya. Ketika partai yang diikutinya--Partai Demokrat--membela dan menyangkal keterlibatannya, Nazaruddin pun akhirnya kabur ke Singapura pada tanggal 23 walaupun sudah dicegah oleh KPK dengan surat cegah terbang yang dikeluarkan oleh imigrasi (Detik, 2012).
Tak lama setelah kepergiannya, KPK pun kembali memanggilnya, tetapi tidak kunjung datang (Detik, 2012). Maka dari itu, KPK dengan beberapa konsiderasi investigasinya, menjadikan Nazaruddin sebagai tersangka kasus wisma atlet pada tanggal 30 Juni 2011 (Kompas, 2022). Kenihilan ia dalam kasus ini kembali menyusahkan otoritas negara dengan pengakuannya yang notabene berada di sebuah negara. Hal ini tentu membuat dirinya menjadi buronan internasional (Detik, 2012).
Kesigapan Polri
Polri pun akhirnya harus turun tangan. Citra dari instansi tersebut dianggap sedang diuji. Hal ini kembali dibuktikan dengan pernyataan oleh Bambang Harymurti--seorang jurnalis Tempo--yang mempertanyakan langkah kepolisian dalam mengusut keberadaan Nazaruddin karena instansi tersebut memiliki alat dan fasilitas yang memadai untuk menangkapnya (Liputan 6, 2011). Sebagai tambahan, Bambang menyatakan bahwa adanya unsur kegagalan dalam penegakkan hukum dari unsur kepolisian akibat cara komunikasi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada instansi tersebut yang dinilai terlalu santun.