[caption id="attachment_91772" align="alignnone" width="300" caption="akhirnya...."][/caption] Tertunduk air mata berlinang, menahan rasa yang begitu menyesakkan dada,tiada kata yang terucap di bibir ini, terasa beban berat menahan dipundak,berjalan tertatih-tatih menggapai asa, seakan kian jauh, jauh... dan tak terpandang. Terusap peluh di wajah, menahan panas dari segala arah, kaki terasa tertancap dibumi, terasa sakit bila berjalan. Mungkinkah ini derita yang mendera deras ?? kuturun dari pelukannya, dan kucoba mengangkat tegak tumpuan tubuh yang renta. menarik untaian harapan di depan mata,bagaikan berjalan tanpa alas, seakan tulang melekat ke tanah, hanya untuk harapan yang semu tak berujung. tubuhmu mulai lemas tergolek tak beranjak, tubuhmu mulai tertutup debu yang menerjang, hanya lambaian tanganmu yang aku pandang, teruskan perjuangan ibu, nak..... dengan hati terasa teriris sebilah pedang, kulepas pegangan tangannya. sejenak ke merenung dan berharap tubuh ibuku beranjak dari tumpukan debu, akhirnya ku sadar bahwa dia telah tiada dan telah terkubur oleh hembusan debu, kini kuberjuang menembus debu yang kian pekat dan menyakitkan kulitku. Aku tak berharap banyak untuk menuju harapan yang tak berujung. Hanya tekad yang melekat dalam hati dan benakku.....kini aku mengendong dan yang pasti aku takkan menurunkannya, biarkanlah diri ini tetap berjalan diatas badai debu, mata terasa sesak oleh deburan debu setajam pisau menancap di sekujur tubuhku, ternyata secercah harapan berkedip dihadapanku setelah kian tahun aku berjalan, kini tinggal berapa tahun lagi agar kedipan harapan itu semakin membesar dan menaungi kami?? Ya Allah kini aku berharap kepadamu.. rubahlah debu itu dengan sepercik air, teteskanlah dibibir titipan-Mu ini.
" Debu dan sepercik air "
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H