Pendidikan Kewarganegaraan untuk "Bumi" Indonesia.- Cinta tanah air Indonesia sering disiratkan sebagai mencintai Indonesia dalam bentuk cinta produk-produk asli Indonesia, mencintai prestasi Indonesia, bangga dengan budaya Indonesia dan banyak lainnya. Kalimat "cinta tanah air Indonesia" ini sangat jarang didengar ditelinga sebagai hal yang benar-benar memaknainya secara tersurat. Maksud saya "Hei Indonesia mempunyai kekayaan alam yang luar biasa, apakah kalian juga mencintainya juga". Gunung-gunung menjulang tinggi bak pilar-pilar langit di tatapan muka 252.370.792 jiwa penduduk Indonesia tak jarang dianggap sebagai jerawat-jerawat kecil yang tidak perlu dirawat dan dibiarkan menghilang begitu saja. Sungai-sungai beralir dari hulu ke hilir lebih banyak jadi aliran sungai manapun didunia bak air ingus bayi yang harus menghilang dari wajah lugu masyarakat Indonesia, terbengkalai tak terawat.
Sayangnya pendidikan cinta tanah air di Indonesia yang diamanahkan kepada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) lebih cenderung mengagumi Indonesia dari sisi sosial dan politik yang tak jarang carut marut keadaan dan kondisinya. Sedangkan pendidikan mencintai alam Indonesia diamanahkan kepada Geografi dimana hanya sekelumit yang bisa merasuk ke jiwa raga siswa sebagai pengagum setia tanah air Indonesia. Maksud saya " Oke, saya terlalu sibuk belajar batu-batu kecil seperti konglomerat ataupun basal, sehingga saya melihat batu tersebut lebih besar (penting) dari gunung (kekayaan alam Indonesia) itu sendiri". Pertanyaan kemudian muncul " Siapakah yang bertanggung jawab akan rusaknya alam Indonesia? dan Bagaimanakah mengatasinya?". Jawabnya, Geografi? PKn? Ataupun kami para Sispala ataupun Mapala?atau pemerintah yang mulai jenuh atau tak becus menangani pebisnis yang punya modal besar dan punya kekuatan yang kuat, semua saling menyalahkan.
Konyolnya dimulai dari hal kecil saja, seperti membung sampah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 ada 84,74% masyarakat Indonesia membuang sampah ke TPS tanpa dipilah terlebih dahulu, sedangkan 4 dari 100 orang di Indonesia masih membuang sampah sembarangan di Indonesia. Dari sini bisa terlihat banjir Jakarta, longsor Banjarnegara, terbakarnya hutan Gunung Lawu terjadi karena ulah masyarakat Indonesia sendiri. Bahkan zaman penjajahan Belanda dulu Jakarta mendapatkan "anugrah penghargaan paling istimewa" dari Belanda sebagai kota yang dinamai "Batavia" yang isu-isunya merupakan perwujudan dari kebiasaan masyarakat Betawi yang sering "Buang Air Besar" (BAB) di Kali Ciliwung. Lalu siapakah yang bertanggung jawab sejak dini untuk mencintai "tanah air" Indonesia ini?.
Penulis mencoba mencari solusi dalam pendidikan formal dengan menggabungkan 2 aspek kependidikan dalam masalah ini. Aspek pertama adalah cinta tanah air Indonesia yang diemban oleh mata pelajaran PKn dan Ilmu ke-alam-an yang diemban Geografi, dan Biologi pada dasarnya. Sehingga pada akhirnya para siswa dan guru memulai untuk mencintai Indonesia dalam artian penuh, dan tidak membiarkan tanah air Indonesia terbengkalai baik dalam hal politik, ekonomi, budaya, dan kelestarian alam Indonesia sendiri.
Pertama, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dapat menambahkan porsi pembelajaran tidak hanya sebatas pengertian atau pemahaman nasionalisme dalam bidang politik, ataupun ketatanegaraan Indonesia. Pendidikan kelestarian alam Indonesia yang sedikit demi sedikit tergerus kaum kapitalis yang mementingkan kelangsungan bisnisnya daripada kelangsungan kehidupan yang penuh rasa nyaman bersanding dengan alam ini menjadi kajian utama dalam penambahan porsi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) ini. Sehingga "output"nya menjadikan para siswa IPA ataupun IPS benar-benar bisa andil dalam menjaga kelestarian bumi Indonesia tercinta ini.
Kedua, jika penanaman jiwa cinta tanah air (dalam artian tersirat ataupun tersurat) sukses dilancarkan oleh Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), mata pelajaran lain yang menyangkut ke-alam-an membuat siswa makin kagum dengan Indonesia terutama sumber daya alamnya, dan akan semakin gencarnya peneliti-peneliti Indonesia mengkaji kekayaan alam Indonesia yang dari tanah sampai airnya benar-benar dianugerahkan Tuhan untuk Indonesia, baik untuk mencari sandang, pangan, papan, juga ilmu pengetahuan.
Jika kedua aspek ini memenuhi dan sukses berjalan harapannya banyak muncul peneliti-peneliti asli Indonesia mengkaji alam Indonesia, banyak Pencinta Alam (PA) yang "merangkul" bumi Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang tak terbantahkan dan bukan Pecinta Alam (PA) gadungan yang hanya bisa "bercinta" di alam. Akan ada power (Kekuatan) yang akan datang paling depan ketika kekayaan Indonesia dieksploitasi dan diintervensi pihak asing untuk melancarkan bisnis maksiatnya. Yang terakhir diharapkan masyarakat Indonesia berpaling pada harta yang merenggut "nyawa" kelestarian alam Indonesia yang menjadi tempat naungan masyarakat Indonesia dan menjadi warisan bagi anak dan cucu masyarakat Indonesia yang bukan merupakan sisa-sisa peradaban tapi merupakan tokoh dengan peran utama dalam peradaban. ed-indriyojp
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H