(Catatan Miring atas Kacau Balaunya Munas Alim Ulama 14 Juni 2015)
 Dalam memasuki hari-hari pertama bulan Ramadhan, sebagai anggota NU saya dilanda rasa was-was dan deg-degan yang akut. Bayangan hitam berulang berkelebat dalam kepala saya. Saya seperti mengalami teror tanpa kehadiran seorang teroris yang menyeramkan, menakutkan. Penyebabnya, hasil Munas Alim Ulama 14 Juni 2015 lalu, ternyata tidak menghasilkan satu kesepakatan final yang mencerminkan karakteristik para kiai dalam mengambil keputusan. Asas musyawarah mufakat, tabayyun telah digantikan dengan cara, intrik, dan pola yang menjurus pada rekayasa dan pemaksaan kehendak. Ironisnya lagi, Munas yang seharus menghasilkan gagasan dan kesepakatan yang mampu menenangkan kaum nahdliyyin dalam menyambut muktamar ke-33 di Jombang nanti, menyisakan kerunyaman dan perdebatan panjang di berbagai media. Seolah para kiai telah kehilangan kearifannya dalam menyelesaikan persoalan keorganisasiannya. Seolah kiai telah terjangkiti hasrat para politikus negeri ini yang lebih suka main serang-serangan demi citra diri dan kekuasaan.
 Runyamnya pelaksanaan dan hasil Munas beberapa waktu tersebut, di satu sisi mengindikasikan adanya infiltrasi kepentingan politik atau kekuasaan di dalam tubuh NU. NU sebagai organisasi keummatan dengan jumlah anggota lebih dari lima-puluh juta orang tidak dipungkiri memiliki daya tarik sendiri. Dalam setiap perhelatan politik (pileg, pilpres, pilkada dan lainnya) NU selalu menjadi incaran setiap pihak untuk bisa menungganginya. Ironisnya, kekuatan NU untuk menjadi motor pendulang ataupun penyeimbang bagi kekuasaan ternyata menggiring para kiai pada kubangan kepentingan politik praktis yang berjangka pendek. Para elite NU (baca: PBNU) seolah tidak punya mimpi dan mengalami kegagalan untuk menjaga keutuhan NU demi kemashlahatan ummat. Kegagalan elite NU dalam menjaga NU sebagai organisasi keummatan dapat dilihat pada kegagapan dan kearoganan sebagian elite NU dalam melaksanakan dan memaksana Munas dengan hasil-hasilnya.
 Di sisi lain, runyamnya pelaksanaan Munas dan hasil-hasilnya juga menjadi preseden buruk bagi perjalanan sejarah NU ke depan. NU yang digaungkan khittah dari hiruk-pikuk politik praktis, ternyata tidak mampu mencerminkan nilai-nilai moderat, inklusif dan modern dalam mengambil keputusan-keputusan keorganisasian.
Runyamnya Munas dan hasil-hasilnya akan berimplikasi terhadap cara pandang NU di masa mendatang. Pertama, NU belum mampu keluar dari ‘keisolasiannya’. Sikap inklusif, modern dan moderat yang diwariskan Gus Dur ternyata tidak mampu dijaga oleh generasi NU. Para elite NU sekarang lebih asyik berbicara kepentingan dirinya sendiri dibanding berbicara kepentingan umat yang lebih luas. Kedua, NU –dengan dipaksakannya sistem ahlul halli wal aqdi (AHWA) sebagai hasil Munas- seolah belum mampu menjawab berbagai tantangan yang semakin hari semakin rumit. Sikap moderat yang menjadi ciri khas orang-orang pesantren ini seperti kehilangan ruh ketika berhadap dengan isu-isu kekinian, seperti demokrasi, kebebasan berpendapat, peran masyarakat sipil dan lainnya. Ketiga, pelaksanaan sistem AHWA dalam muktamar akan mengancam kredibilitas NU. Sistem AHWA yang dihasilkan dalam Munas yang penuh rekayasa dan paksaan dari pihak-pihak tertentu akan menyebabkan hilangnya legitimasi terhadap pemimpin NU yang terpilih. Artinya, baik Rais Am dan Ketua Tanfidziyah yang terpilih tidak akan mendapatkan legitimasi yang utuh. Itu mengingat cara yang digunakan –dalam hal ini AHWA- tidak sesuai dengan aspirasi para pemiliki suara (baca: pengurus PWNU) yang menginginkan pemilihan langsung. Kalau sampai demikian, NU akan kehilangan kepercayaan dari para anggotanya. Sebab, pemimpin yang dihasilkan dari proses yang tidak benar akan melahirkan kebijakan dan keputusan yang tidak benar. Selain itu, NU pernah punya sejarah untuk menolak sistem pemilihan pemimpin tertinggi NU yang dipaksakan oleh kekuasaan (baca: pemerintah).
 Sekali lagi, melihat gelagat dan manuver elite NU untuk tetap menerapkan sistem AHWA dalam muktamar ke-33 NU pada bulan Agustus mendatang, saya kira kita perlu was-was dan kalut. Munas dan hasil-hasilnya yang runyam tidak hanya manjadi preseden buruk bagi perjalanan NU. Akan tetapi menjadi sinyal krisis moral mulai menjangkiti jiwa para elite NU. Ini tentunya sungguh ironi. Beberapa kejanggalan yang patut dibaca kembali selama Munas 14 Juni 2015 yang lalu antara lain, Pertama, waktu pelaksanaan Munas dipaksakan. Padahal pelaksanaan Muktamar sudah dekat yaitu tanggal 1-5 Agustus 2015. Munas biasanya diagendakan dalam waktu yang proporsional dan tidak mepet dengan Muktamar. Kedua, pelaksanaan Munas yang pincang karena dilaksanakan tanpa Konferensi Besar (Konbes). Menurut ART NU, Munas Alim Ulama selalu dibarengi dengan Konbes. Munas dengan peserta pengurus syuriyah di tingkat wilayah (PWNU)  sementara Konbes untuk tanfidziyyah.
Ketiga, alasan penyelenggaraan Munas mengada-ada karena sebelumnya telah dilaksanakan Munas dan Konbes pada 1-2 November 2014. Dalam AD/ART NU BAB XX pasal 74 ayat 2 disebutkan Musyawarah Nasional Alim Ulama membicarakan masalah-masalah keagamaan (masail diniyyah) yang menyangkut kehidupan umat dan bangsa. Jadi menyalahi AD/ART kalau Munas  dijadikan forum untuk mengegolkan AHWA. Sementara Munas maupun Konbes adalah forum di bawah Muktamar. Jadi Muktamar sebagai forum tertinggi yang bisa memutuskan. Keempat, jadwal dan round down acara Munas dirancang hanya 2 jam, antara 19.30-22.30 WIB. Cukup kilat untuk sebuah acara permusyawaratan yang katanya tingkat nasional. Kalau Munas serius, tentu waktu singkat tersebut tidak cukup, kecuali bila memang hanya untuk agenda tertentu. Untuk Konferensi Anak Cabang tingkat kecamatan saja, barangkali waktunya lebih panjang dari itu.
 Kelima, Munas yang katanya merupakan forum penting dengan peserta pengurus syuriyah dan dikatakan sebagai forum tertinggi kedua setelah Muktamar, tidak digawangi oleh tokoh-tokoh penting dari jajaran syuriyah, yakni tanpa kehadiran Penjabat Rois Aam, Katib Aam dan hanya sedikit dari jajaran syuriyah PBNU yang hadir. Jangankan memimpin sidang Munas dan ikut memberikan masukan, hadir saja tidak! Apa alasan tidak datang. Karena udzur ataukah sengaja tidak datang?
 Keenam, Munas yang merupakan forum syuriyah justeru di-pawangi oleh jajaran tanfidziyah yang mendominasi forum, seperti Ketua Umum PBNU, Sekretaris Jendral, Bendahara Umum, dan ketua-ketua lajnah/lembaga. Loh, ini acaranya syuriyah apa tanfidziyyah? Ketujuh, Munas justru tidak banyak dihadiri oleh Rois Syuriyah PWNU. Barangkali ini sepadan dengan Pejabat Rois Am yang juga tidak hadir, mulai pembukaan di Masjid Istiqlal sampai selesai acaranya. Kalau memang ini forum permusyawaratan syuriyah, seharusnya para Rois Syuriyah PWNU yang langsung hadir. Alasan sebagian besar Rois Syuriyah PWNU tak hadir, karena sudah ada kesadaran bahwa Munas tersebut bermasalah dan rekayasa untuk kepentingan tertentu.
Kedelapan, ada mobilisasi kiai di tingkat PCNU agar ikut Munas. Padahal menurut AD/ART peserta Munas dan Konbes adalah PWNU. Ketika kiai itu ditanya siapa yang memobiliasi kiai PCNU, ia menjawab Ansor. Ini Munas NU atau Ansor? Kok bisa Ansor ikut-ikutan mau mengendalikan NU. Kesembilan, klaim yang menyebutkan Munas dihadiri 27 PWNU layak dipertanyakan kebenarannya, mengingat banyaknya PWNU yang tidak hadir. Bisa dibuktikan juga dari absensi Munas kalau memang ada. Entah lagi kalau absennya abal-abal.
 Kesepuluh, peserta Munas dari PWNU tidak banyak diberi kesempatan bicara. Bahkan ada modus peserta yang berbeda pendapat langsung dipotong oleh pimpinan sidang dan peserta Munas lain yang sudah disiapkan untuk memerankan hal itu. Kesebelas, tempat duduk peserta Munas juga sudah di set up sedemikian rupa, termasuk dengan pola peserta yang diduga akan menolak AHWA dikelilingi oleh oknum PBNU atau orang-orangnya. Itulah mengapa pembahasan AHWA dalam Munas diklaim berlangsung cepat dan seolah-olah disepakati, karena ternyata ada rekayasa dan pembungkaman terhadap peserta sedemikian rupa. Sampai sedemikiankah? Silahkan ditanyakan kepada peserta dan saksi Munas.