Mohon tunggu...
Kusumadilaga
Kusumadilaga Mohon Tunggu... Guru -

14 Feb 93|TK Pertiwi Cilacap|SD Al-Irsyad 02 Cilacap|SMPN 1 Cilacap|SMAN 1 Cilacap|Civic Hukum UNY|SM-3T Polman|SMPN Rappang Polman|SMAN 1 Godean|SMAIT ABBS|PPG SM-3T UNY|Guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mahalnya Harga Sebuah Demokrasi

20 Mei 2014   06:37 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:20 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak ada yang gratis di dunia ini, termasuk dalam dunia politik terutama demokrasi. Mahalnya menjadi seorang anggota legislatif semakin mengindikasikan tingginya harga sebuah demokrasi. Lihat saja pemilu pada tahun 2009 lalu dimana menurut survei universitas ternama di Indonesia menunjukkan bahwa uang yang dikeluarkan seorang calon legislatif minimal 300 juta hingga 6 miliar rupiah, dan jumlah itu membengkak pada pemilu tahun 2014 ini bahkan diprediksi akan semakin besar pada pilihan presiden juli mendatang. Bagaimana bisa biaya yang dikeluarkan sedemikian banyak? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita bisa melihat cara kampanye para calon anggota legislatif. Mulai dari pembuatan baliho, poster, bendera, pamphlet, hingga kampanye melalui media cetak maupun elektronik. Belum lagi adanya sosialisasi langsung kepada para konstituen dan basis massa. Ditambah lagi kampanye terbuka yang semakin membuktikan politik tak sehat yang sarat akan penghamburan uang dan berpotensi terjadi politik uang (money politics).

Sekadar diketahui, semakin tingginya harga yang dikeluarkan dalam perpolitikan semakin menunjukkan bahwa politik tersebut tidak sehat. Bahkan persaingan yang terjadi tidak lagi pada caleg antar partai, tetapi justru internal partai. Dia tidak peduli lagi seberapa besar suara yang didulang oleh lawan politiknya di partai lain, tetapi dia lebih peduli pada kondisi internal partai. Dia harus mengamankan posisinya dari “kudeta” caleg lain dalam satu partai. Di sinilah uang berbicara. Terjadi sebuah hukum alam baru dimana barangsiapa yang memiliki modal lebih besar dialah yang berkuasa. Akibat yang ditimbulkannya banyak sekali. Salah satunya adalah dianggap lazimnya politik transaksional dan terbangunnya budaya “maklum” akan politik uang dikalangan masyarakat. Dampak ini dirasa sangat berbahaya terutama terhadap kelangsungan demokrasi itu sendiri. Demokrasi terkesan cacat dan bukan lagi memandang politisi dari kompetensi dan kapasitas tetapi lebih kepada uang. Demokrasi Indonesia saat ini cenderung sangat kapitalis. Belum lagi timbul permasalahan lainnya, seperti banyaknya caleg gagal yang mengalami guncangan dan gangguan jiwa. Semua itu terjadi sebagai akibat dari politik transaksional.

Sebagai contoh, Candra Saputra, dari Partai Demokrat, beliau gagal menjadi anggota dewan padahal telah menghabiskan sekitar 600 juta rupiah. Ironisnya uang itu adalah hasil berhutang pada seseorang dan saat ini telah jatuh tempo. Alhasil ia harus menjual ginjalnya untuk melunasi hutangnya. Belum lagi di Klaten beberapa caleg gagal harus menjalani rehabilitasi atau pemulihan dari gangguan jiwa. Belum lagi merebaknya sikap pragmatis di masyarakat dengan menerima setiap uang suap dari setiap caleg namun tidak memilih orangnya. Bahkan terjadi praktek jual beli suara dan komersialisasi suara di TPS. Kasus-kasus di atas menunjukkan betapa bahayanya dampak politik transaksional. Secara umum bahaya yang ditimbulkan tidak hanya pada demokrasi semata, tetapi juga pada masyarakat. Masyarakat akan menjadi semakin bodoh akan pengetahuan politik dan cenderung pragmatis. Dampak yang kedua adalah pada caleg atau politisi itu sendiri. Mereka tidak dibekali pengetahuan politik oleh partai mereka, yang ada di dalam pikiran mereka hanya menang, menang, dan menang bagaimanapun caranya.

Sebenarnya ada banyak cara agar biaya yang dikeluarkan tidak terlalu melambung tinggi atau dapat dikatakan efektif dan efisien. Hal yang paling penting dilakukan adalah mengembalikan pemahaman masyarakat bahwa politik dan demokrasi itu bersih. Setelah pemahaman masyarakat kembali pada jalur yang benar, maka langkah selanjutnya adalah memperkenalkan visi misi dan program kerja baik politisi maupun partai politik. Sekadar sebagai contoh Masinton Pasaribu, salah seorang caleg dari partai PDIP hanya mengelurakan sekitar 300 juta rupiah selama kurun waktu 10 bulan persiapan pemilu caleg 2014, dan calon-calon lain yang sangat efisien dalam menggunakan dana. Namun sayangnya jumlah caleg yang benar-benar bersih tanpa politik uang dan penghematan dana hanya sedikit jumlahnya.

Banyak solusi yang ditawarkan guna menyelesaikan permasalahan ini. Antara lain dimulai dari pembenahan, baik dari penyelenggara pemilu maupun masyarakat atau pemilih itu sendiri. Perbaikan penyelenggara pemilu dilakukan dengan mengembalikan kompetensi penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu. Lembaga-lembaga ini harus benar-benar netral sehingga tidak dijadikan alat yang dapat memanipulasi hasil pemilu atau bahkan menjadi kendaraan segelintir orang yang berkepentingan. Kemudian pemahaman masyarakat tentang sistem politik harus dibenahi dengan pendidikan politik, sehingga masyarakat tidak buta akan politik dan tidak lagi bersikap pragmatis. Namun ada satu hal yang harus segera dibenahi, yaitu sistem politik itu sendiri, termasuk sistem perekrutan para politisi yang masuk menjadi anggota dewan. Sehingga sistem yang digunakan tidak hanya dengan melihat tinggi rendahnya perolehan suara tapi harus disertai juga dengan rekam jejak calon yang bersangkutan baik selama hidupnya di dunia politik maupun pada masa kampanye. Meskipun usaha-usaha di atas memang sangat sulit untuk direalisasikan, namun usaha tetap perlu diupayakan. Karena demokrasi memang terus belajar dan demokrasi memang harus terus diupayakan. (-val.)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun