Mohon tunggu...
artha amalia
artha amalia Mohon Tunggu... Bidan - ibu rumah tangga biasa

terus belajar untuk sabar dan bersyukur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Pesan Hijau

23 Desember 2013   11:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:35 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nomor peserta: 473

Halo wanita yang saya sayangi. Mama sedang sibuk apa? Semoga tulisan ini tidak mengganggu aktivitas Mama. Semoga apa yang saya tulis bisa menghibur hati Mama.

Mama, maaf kalau saya memilih ungkapkan rasa lewat menulis. Mengingat kebersamaan indah bersama Mama, membuat saya terharu dan air mata meleleh lebih deras dari gerimis. Maaf kalau apa yang saya utarakan begitu panjang. Namun inilah bentuk dari kerasnya ego yang saya terjang. Apa yang saya tulis adalah segalanya tentangmu dengan berjuta pesan. Segala tentang apa yang Mama ajarkan demi kebaikan.

Saya hapal dengan segala titah Mama, “Matikan kran kalau bak mandi penuh!Sampahnya lekas dibuang! Dari kemarin disuruh, bandel ya!Jangan lupa nanti sirami tanaman, jangan terus facebook-an!”

“Iya, Ma …” hanya itu jawab saya, tidak berani lagi membantah. Segera saya kerjakan apa yang Mama pesan.

Di pagi hari, begitu banyak pesan bernada perintah. Namun yang paling saya suka adalah, “Mama berangkat kerja dulu. Kamu jangan lupa sarapan,” Mama berucap dengan lembut seraya menyodorkan punggung tangan kanan agar bisa saya cium.

Kemudian Mama melambaikan tangan dan melangkah keluar rumah. Begitu pintu dibuka, seberkas sinar matahari pagi masuk disertai aliran udara yang sejuk. Segar! Entah mengapa, seusai menghirup udara baru yang masuk ke dalam rumah, semangat saya menyala. Padahal sebelumnya, sempat sebal dengan banyaknya aturan. Juga menggerutu,  “Pagi-pagi kok berisik!”

Mama, tanpa ajaranmu tentunya saya tidak akan tahu bagaimana cara menyayangi bumi. Mama memberi pesan hijau agar bumi tak semakin rusak dan membuat penghuninya galau.

Di dapur, ada dua macam tempat sampah. Yang satu berwarna hijau, khusus untuk sampah yang sifatnya organik dan dapat diolah menjadi pupuk. Isinya adalah kulit buah, bagian sayuran yang tidak digunakan, kulit bawang, kulit kacang, dan sebagainya. Sedangkan yang satunya berwarna kuning, khusus untuk sampah non-organik. Beragam kemasan dari plastik, styrofoam, kertas, kain perca, pecahan kaca dan sebagainya, masuk ke dalam tempat sampah kuning. Segera saya buang sampah yang menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA) kampung kita. Letaknya sekitar 200 meter dari rumah.

Kadangkala, saya malas membuang sampah yang menumpuk ke TPA. Mama sering marah dan membuangnya sendiri. Maaf Ma, saya jadi anak durhaka. Saya acuh dan tidak memikirkan kondisi kita selanjutnya. Padahal Mama selalu membuang sampah tepat waktu agar tidak banyak lalat dan membuat kita sakit.

Setelah membuang sampah, saya isi wadah hijau yang biasa digunakan sebagai penyiram tanaman dengan air. Saya sirami bunga-bunga di halaman depan dengan guyuran secukupnya, airnya tidak sampai meluber melebihi kapasitas pot. Setelah beres, kemudian beranjak ke kebun belakang rumah. Tumpukan sampah minggu lalu yang telah terurai tercampur tanah, saya ambil sebagian untuk memupuk tiga buah pohon pisang. Tidak lupa disiram pula dengan air. Saat asyik meyiram, kepala sayamembentur sesuatu. Saat menengok ke atas ... ada bunga pisang yang begitu besar. Wah! Sebentar lagi kita panen, Ma!

Seusai menunaikan ketiga tugas mulia dari Mama, saya duduk santai di teras rumah. Kaki selonjor sambil mengamati keadaan rumah yang berbeda dengan rumah lainnya di kompleks RT kita. Keseluruhan bercat hijau, kebanyakan peralatan rumah pun demikian. Entah itu korden, kursi, kulkas, karpet, selimut, penyiram bunga, cibuk atau pengambil air di kamar mandi, sertabeberapa peralatan makan di dapur semuanya berwarna hijau. Awalnya saya kira karena itu warna kesukaan Mama sebagai manager utama pengurus rumah, ternyata bukan. Bukankah warna favorit Mama adalah merah. Lalu, mengapa banyak yang hijau? Itu pertanyaan pertama yang terbesit di otak.

Selanjutnya bayangan saya kembali pada urusan air di rumah. Mama begitu bawel mengenai hal ini. Saya dan adik saya dilarang membuang air sembarangan, meluberkan air dalam bak mandi, dan juga menyiram tanaman menggunakan selang air hingga turut membasahi tanah yang tidak berisi tanaman. Saya pikir karena kita menggunakan pompa air tanah yang membutuhkan banyak energi listrik, sehingga menyebabkan tagihan listrik membengkak. Ternyata bukan, sebab saat membayar listrik, Mama tidak pernah berkomentar atau mengeluhkan apapun. Lalu mengapa? Keingintahuan menggelitik.

Mama begitu suka dengan pohon. Ada beberapa tanaman penghijau rumah yang tidak saya ketahui namanya, selain pohon mangga, jeruk nipis, lidah mertua dan pisang. Yang jelas, rumah kita begitu asri. Musim kemarau panjang tidak terasa panas menyengatnya saat berada di sekitar rumah berkat rimbunan tanaman tersebut. Padahal kegiatan Mama di kantor sudah cukup melelahkan. Namun sepulang kerja dan hari libur, beliau selalu menghabiskan waktu untuk merawat tanaman-tanaman kita. Pun mengajak saya turut serta membantunya merapikan kebun. Pasti ada suatu alasan di baliknya, menjadi tanya yang ketiga dan harus sabar menunggu kepulangan Mama agar rasa penasaran terjawab.

Mama, jawabannya baru saya temukan saat duduk di depan netbook dan mencari beberapa bacaan di internet. Ada beberapa data tentang pencemaran lingkungan akibat tangan jahil dan hurangnya kesadaran untuk melestarikan alam oleh manusia sendiri. Saya terhenyak. Teringat beberapa tahun lalu heboh kiamat 2012, dan saya rasa itu akan benar-benar terjadi bila manusia terus “nakal”. Sampah plastik dan styrofoam di mana-mana, padahal kedua bahan tersebut sulit terurai tanah dan tentunya bahan kimia di dalamnya akan mencemari tanah. Padahal pangan kita berasal dari tanah, dan bila tanah telah tercemar maka pangan kita turut tercemar. Kita akan memakan pangan yang mengandung karsinogen dan hal tersebut tentu membahayakan kesehatan.

Belum lagi persediaan air bersih yang menipis. Warga sekomplek RT mengambil air dari tanah, mengebor dan membuat sumur. Persediaan air tanah itu tergantung dari siklus dan tampungan air hujan yang meresap. Apabila kita membuang-buang air untuk hal yang tidak berguna, tentunya persediaan air tanah akan berkurang. Apalagi bila hujan tidak turun.

Sepertinya ketiga pertanyaan di benak saya telah terjawab seusai membaca beberapa artikel mengenai kelestarian lingkungan. Mama memberikan pesan hijau agar kita sekeluarga sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Juga memberikan pelajaran kecil tentang bagaimana mengolah sampah agar tidak mencemari lingkungan, menghemat persediaan air dan menanam tamanan sebagai sumber oksigen juga pemanfaatan lahan yang baik.

Mama, maaf kalau saya sering mengeluh ketika kau suruh. Apa yang Mama pinta tentulah terbaik untuk kita semua. Mama tidak ingin bumi ini rusak dan membuat anak-cucu kita tidak bisa menikmatinya. Mama selalu berpesan banyak hal agar saya terbiasa melakukannya, bukan bermaksud agar saya susah.

Dulu, saya sempat mencela Mama bawel. Kalau tidak dituruti, seperti anak kecil yang rewel. Berteriak kencang pekakkan telinga. Kadang berkata kalau saya durhaka pada orang tua karena membantah.

Setahun lalu, saat saya tidak serumah dengan Mama, saya baru merasakan begitu bergunanya pesan-pesan Mama. Saya jadi terbiasa menghemat air dan listrik, lingkungan tempat tinggal saya bersih dan tidak sekalipun saya kena penyakit parah. Alhamdulillah, segala yang Mama pesankan pada saya agar selalu jaga kebersihan membuat banyak teman yang bertanya tentang bagaimana caranya. Saya berbagi pesan Mama pada mereka. Benar-benar petuah berguna, Ma ...

Di saat jauh, Mama seperti memiliki indra keenam. Mama sering menelepon saya untuk menanyakan keadaan saya. Juga kembali mengingatkan akan banyak hal. Pernah suatu kali saya bandel karena tidak membuang tumpukan sampah ke TPA malah membakarnya. Api ternyata menyala hebat. Terlebih ketika ada wadah semprotan nyamuk yang terbakar, terdengar keras suara ledakan. Saya begitu ketakutan. Apalagi api seperti semakin dekat dan mengenai tubuh saya.

Di saat itulah Mama menelepon, mengingatkan saya agar membuang sampah yang menumpuk ke TPA. Segera saya ceritakan apa yang saya alami, Mama panik lalu meminta saya mengambil kain basah dan dilempar ke arah api atau mengambil pasir dan menuangkan pada kobaran api. Saya menutur, api padam dan sejak itu saya tidak mau membakar sampah lagi.

Saat tidak tinggal bersama Mama, saya rindu Mama. Omelan Mama tidak saya dengar. Namun saya jadi sadar, saat melakukan ajaran yang Mama tanamkan sejak dini, saya merasa Mama selalu ada di samping saya. Selain Tuhan, ada Mama yang mengawasi apa saja yang saya lakukan.

Sekarang saya kembali ke rumah, bisa bersua dengan Mama kapan saja. Saya semakin suka berkebun bersama Mama. Merangkai tanaman di sekitar rumah agar terlihat semakin indah. Ah senangnya ... Kebersamaan kita meninggalkan banyak tawa.

Mama, terima kasih banyak atas segala pesanmu. Tidak mau lagi saya membangkang dan menjadi bak Malin Kundang. Saya ingin membahagiakanmu, menuruti segala titahmu. Semoga kehidupan yang lebih baik bisa kita songsong bersama. Saya ingin selalu menikmati hijaunya bumi bersama Mama tercinta.

Peluk cium untuk Mama. Saya saaaayang Mama. Sangat sayang. ***

NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu. Ini link-nya: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/22/untukmu-ibu-inilah-karya-peserta-fiksi-hari-ibu-bersama-studio-kata-618551.html

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community di http://www.facebook.com/groups/175201439229892/!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun