Kartadinama mukanya tegang, berjalan hilir mudik di teras rumahnya sore itu. Istrinya Sutadinama akan segera melahirkan anak pertama mereka. Matahari mulai sayu, langit mulai gelap, dengan tergesa-gesa Kartadinama menyalakan senthir buatan tangannya, kaleng susu bekas yang atasnya dipatri pentil ban sepeda. Mbok Iyah, dukun bayi desa berteriak minta pertolongan,“Pak Karta, ruangan ini semakin gelap, cepat cari penerangan!” Dengan tergagap Kartadinama menyahut,”Aku hanya punya tiga senthir mbok, saya akan segera ke rumah pak lurah pinjam lampu petromak”. Kartadinama lari meninggalkan istri dan mbok Iyah untuk mencari petromak ke rumah pak lurah. Berbekal rokok klembak, Karta menyusuri jalan gelap menuju rumah pak lurah. Kartadinama langsung mengetuk pintu rumah pak lurah,”Thok…thok…thok…Permisi pak ini saya Karta” Selang beberapa saat pakde lurah keluar. Logatnya halus menerima pak Karta, “Masuk Pak Karta, ada apa ini ?” Kartadinama langsung meminta tolong pak lurah, “Istri saya, saat ini mau 1 )babaran pak, rumah kami gelap dan saya mau meminjam lampu petromaknya, agar mbok Iyah lebih leluasa” Dengan cepat pak lurah mengambil petromak dan mengisi minyak tanah dan spritus. Di sela-sela pak lurah menyiapkan petromak ia mengajak bu lurah bersiap.“Bu, ayo ke tempat pak Karta, bu Suta mau babaran” Bu lurah dengan cekatan membawa beras, sayur, dan telur untuk menyiapkan makan untuk mereka. Mereka bergegas menuju rumah pak Karta untuk membantu mbok Iyah.
1)babaran : melahirkan anak, bersalin (jawa)
2)silatan : bagian terluar dari bambu yang dilepas tipis dan tajam (jawa)
3)cah ayu: bocah (anak) cantik (jawa)
Kartadinama menempatkan petromak di kamar persalinan, sudah lebih dari empat jam mendampingi mbok Iyah, tapi belum ada tanda-tanda akan melahirkan. Malam makin gelep, udara semakin dingin, mbok Iyah mulai memberi arahan dan semangat pada bu Suta, setengah jam setelah tengah malam suara bayi memecah kehengingan malam. Kartadinama lega anak pertamanya lahir. Mbok Iyah menyiapkan 2)silatantipis dari bambu, untuk memotong tali pusar. Tali pusar bayi dipotong, kemudian mbok Iyah menggedong bayi dengan kain dan menyerahkan ke bu Suta. Mbok Iyah berkata “Wah cantiknya, ini bu putrinya, lengkap semua. Matanya jernih, tangannya mengepal kuat, terbuka dengan sempurna, jari-jemari lengkap, kakinya juga kuat dan lengkap.” Bu Suta membalas, “Terima kasih mbok Yah, sini 3)cah ayu” Bu Suta memeluk putrinya dan mengecupnya. Mbok Iyah memanggil Pak Karta di teras, “Pak Karta putrinya cantik, sini masuk” Pak Karta segera masuk dan menemui putrinya, dan berucap, “Mana putriku paling ayu, biar ibu istirahat dulu, ikut bapak dulu ya” Pak Karta menimang putri kecilnya dan menidurkannya. Putrinya terlelap dalam dekapan hangat bapaknya. Pak Lurah dan Bu Lurah mengucapkan selamat pada Pak Karta dan Bu Suta, mereka berpamitan karena waktu sudah mulai subuh.
Arni Wiji Timun, Pak Karta memanggilnya Arni. Arni tumbuh sehat, gerakannya tangkas. Arni sering bermain bersama teman-teman sekampungnya. Permainan yang paling disukai Arni adalah egrang, karena Arni tidak mau kalah dengan teman laki-laki kampungnya. Egrang terbuat dari bambu kira-kira dua meter, di tengahnya diberi topangan kaki, permainan ini mengandalkan keseimbangan dan ketangkasan. Arni sangat jago memainkannya, anak laki-laki di kampungnya pun tak mampu menandingi ketangkasan Arni. Kesenangan Arni yang lain adalah memelihara ayam, karena sayangnya dengan ayam Arni membuatkan kandang khusus di kamarnya, untuk tempat tidur ayam.
Masa ayam mengeram, ayam milik Arni pun juga mengeram. Ayam mengeram berubah jadi galak. Induk ayam menjadi beringas kalau situasi sekitarnya tidak aman untuk telur-telurnya. Tanpa sengaja Arni menjatuhkan mangkuk sayur, piring dan tutup-tutup panci yang terbuat dari aluminium. Arni ingin segera memasukkan ke rumah setelah mencucinya. Suara benda jatuh terdengar keras “Glendhang, gledhak” Induk ayam merasa terganggu, Arni dipatuk. Arni menjerit-jerit,”Bu, bu….ibu…tolong…bu…gelap…bu tolong gelap bu…” Bu Suta langsung berlari begitu mendengar sang buah hatinya menjerit-jerit. Bu Suta terkejut melihat keadaan anaknya. Bu Suta memeluk Arni dan berucap, “Duh Allah, anakku…apa yang terjadi, sampai mata nduk ayu berdarah” Arni masih tersesak dan menangis,”Babon…buk…babon buk” Bu Suta memapah Arni ke rumah, sambil berteriak-teriak memanggil suaminya, “Pak, Pak, anake Pak” Bu Suta memanggil lebih dari sepuluh kali. Para tetangga berdatangan ke rumah bu Suta. Melihat keadaan Arni, Pak lurah, pakdenya segera mengambil sepeda dan membawa Arni ke Puskesmas di kecamatan.
Jalanan terjal, pak Lurah tetap mengayuh sepedanya. Arni mendekap erat boncengan. Satu jam berjalanan pak Lurah tempuh untuk sampai di puskesmas. Pak Lurah langsung masuk ke ruang perawatan. Dokter di Puskesamas hanya memberikan perban dan membersihkan darah karena peralatan seadanya. Dokter menyarankan untuk segera dibawa ke rumah sakit khusus mata di kota . Tapi pak lurah tidak ada kendaraan untuk sampai di kota . Arni dibawa dengan mobil ambulance puskesamas ke rumah sakit kota . Hawa begitu panas pak lurah begitu pucat, disamping kecapekan dan rasa serba salah. Pak Lurah masih terngiang-ngiang pemberitahuan dokter padanya, “Pak, anak yang bernama Arni akan buta selamanya” Pak Lurah tidak tahu bagaimana harus menyampaikan pesan ini kepada adik sepupunnya, Pak Karta dan Bu Suta. Pak Lurah menyiapkan diri pulang, mukanya semakin terlihat tegang. Dari ujung desa detak jatungnya makin cepat. Makin dekat dengan rumah sepupunya, muka pak Lurah makin tegang. Pak Lurah mengetuk pintu rumah Pak Karta “Thok…thok…thok… Pak Karta” Pak Karta langsung keluar menemui Pakdenya. Muka Pak Karta sama tegangnya dengan muka Pak Lurah. Pak Karta segera menanyakan keadaan anaknya, “Bagaimana Arni Pakde, Arni bagaimana Pakde” Pak Lurah dengan tergagap menjawab,”Anu…anu dik…anu…maaf…cacat, dokter…dokter tidak mampu menolong Arni dik”, Pak Karta menangis, “Apa yang terjadi Tuhan…” Pak lurah hanya menenangkan adik sepupunya Kartadinama,”Dik, kita jenguk Arni besuk dan menemaninya. Rumah sakit terlalu jauh kalau ditempuh dengan sepeda”
Semalaman Kartadinama dan Sutadinama berjaga menunggu datangnya pagi. Muka mereka pucat dan lesu memikirkan putrinya. Suara jangkrik dan tiupan angin menemani mereka sampai larut. Kartadinama masih berjaga walau istrinya sudah tertidur karena sudah terlalu letih. Ayam jantan berkokok, fajar mulai menyingsing, Kartadinama membangunkan istrinya, pelan-pelan, “Bu, ayo siap-siap jenguk Arni” Sutadinama langsung terbangun dan menyiapkan bekal kalau-kalau mereka harus menginap. Kartadinama segera ke rumah Pak Lurah, “Pakde…Pakde Lurah” sambil mengetuk pintu rumah. Pak Lurah keluar dan membalas, “Ya Dik Karta” Kartadinama segera menyampaikan keinginanannya, “Pakde, ini bagaimana, saya tidak tahu jalan ke Rumah Sakit, dan saya bersama istri saya untuk menjenguk Arni?” Pak lurah segera menjawab, “Kita pinjam saja sepeda Pak Hanafi pemilik toko untuk dibawa ke terminal.
Secepat mungkin Pak Lurah dan Kartadinama mengayuh sepeda, Sutadinama berpegang erat di boncengan suaminya. Mereka mencari oplet biru yang akan membawa mereka ke kota . Mereka memasuki oplet dengan tergesa. Pak Lurah bertanya pada sopir oplet itu, “Pak ini masih lama tidak?” dan sopir itu memberi penjelasan,”Biasanya dua puluh menit, Pak” Oplet makin dipenuhi penumpang,mulai dari pedagang sayur, pedagang kelontong sampai ABRI. Selang duapuluh menit oplet melaju. Jalanan lenggang karena hari masih pagi. Beberapa desa terlewati, Pak Lurah memberi aba-aba sopir oplet untuk berhenti,”Pak rumah Sakit Permata depan Pak” Pak sopir menghentikan opletnya tepat di depan pintu gerbang rumah sakit. Mereka membayar ongkos oplet dan segera menuju kamar Arni, kamar kenanga no 104, lantai satu bagian mata no 4. Wajah Kartadinama dan Sutadinama semakin pucat, melihat putrinya terbaring dengan perban di mata. Arni masih dalam pengawasan dokter selama 3 hari. Keluarga atau saudara belum diijinkan bertemu, tapi setidaknya Kartadinama dan Sutadinama tahu perkembangan keadaan Arni dari waktu ke waktu. Dokter pengawas Arni mendekati Pak Lurah, Kartadinama dan Sutadinama, karena dia berjaga di depan kamar Arni. Dokter menyapa mereka,”Maaf, saya dokter pengawas pasien bernama Arni, saya Sudimas, apakah ini keluarga dari Arni?” Pak Lurah menjawab,”Ya Pak, saya Pakdenya dan ini Kartadinama bapaknya, Sutadinama Ibunya.” Dokter Sudimas menjelaskan perkembangan Arni. "Arni sudah tidak mengalami kejang, keadaannya sudah stabil, dan mungkin akan membutuhkan waktu lama, dan kemungkinan putri Bapak dan Ibu mengalami gangguan penglihatan, jadi Bapak dan Ibu harus sabar mendampingi Arni, begitu dulu Bapak dan Ibu apa masih ada yang lain, kalau tidak ada maaf saya harus segera ke pasien yang lain” Kartadinama menyahut, “Terimakasih Pak dokter”.
Semalaman Kartadinama tak bisa memejamkan mata, menunggu di depan kamar rawat putrinya, Arni. Kartadinama menunggu agar boleh diijinkan masuk menemui putrinya secara langsung. Kartadinama ingin segera mendampingi putrinya yang terkulai lemas di tempat tidur. Pagi yang dinanti akhirnya tiba, dokter Sudimas yang mengontrol Arni menyapa Kartadinama, “Selamat pagi Pak, mulai hari ini keluarga sudah boleh menemani Arni, karena Arni akan dipindahkan dari ruang isolasi” sontak muka Kartadinama 4)semringah dan berucap,”Terima kasih Pak dokter”.
Kartadinama, istrinya dan pak lurah segera bertemu Arni di Ruang Flamboyan 104 kamar yang baru. Sutadinama masuk dan duduk di dekat putrinya, tangan Arni dipegang dan ia menatap dalam-dalam putri. Arni merasa tangannya hangat dan mulai terbangun, Arni berseru, “Bu…bu…ini di mana, semua gelap Bu”, Sutadinama tak tahan melihat putrinya ketakutan, Sutadinama segera memeluk putrinya dan menenangkannya, “Cup…cup…cup nduk cah ayu, ini ada Ibu, Ibu akan menemani gendhuk tenang ya” Arni menahan tangisnya. Sutadinama melanjutkan,”Ini Bapakmu dan Pakde lurah juga disini kok”, Kartadinama mendekati putrinya mengusap wajah putrinya dan berbisik, “Nduk, bapak di sini tidak usah takut lagi ya, pakde lurah juga ada, nanti tanya dokter ya kapan bisa pulang?” Arni semakin tenang, Ia kembali beristirahat dengan bibir tersenyum.
Rumah mungil Kartadinama sudah lama sepi, karena sang pemilik menjaga buah hatinya di rumah sakit. Siang ini rumah itu mulai berbenah, Kartadinama mulai membereskan rumahnya, sementera istrinya sibuk mengupas bawang putih, bawang merah, meracik bumbu. Arni mendekati ibunya dengan perlahan, tangannya berpegangan pada tembok, di dekat tempat duduk ibunya, Arni mulai meraba perlahan tempat duduk itu kosong dan bersih dari peralatan memasak. Arni berbicara pelan, “Bu, ajari Arni mengenal bumbu dapur, biar Arni bisa memasak” Sutadinama mengambil bawang putih, dibuka dan dicium dan memberitahu putrinya,”Nduk coba cium ini agal halus dan rasanya pengar, ini bawang putih” Sutadinama mengambil bawang merah mencium dan menyerahkan pada putrinya,”Kalau yang ini Nduk, bawang merah rasanya agak pedas, membuat mata seperti mau menangis” Arni mencium bawang merah terlalu dalam, saraf matanya masih bekerja, Ia meneteskan air mata, Arni berseru,”Bu ini bawang merah”, Sutadinama tersenyum, Sutadinama beralih ke gula dan garam,”Nduk ini gula dan garam, gula terasa lengket, halus dan tentu rasanya manis, kalau garam kasar dan asin, 5)genduk masih ingatkan rasa manis dan asin?” Arni meraba gula dan garam,”Bu ini gula ya, ehm manis dan yang ini garam rasanya asinnya tidak berubah kok Bu” Sutadinama kembali tersenyum.
4)semringah:berseri-seri, segar (jawa)
Arni tumbuh menjadi perempuan yang mandiri, karena ibunya sangat mendampinginya. Arni sudah bisa memasak nasi, sayur. Setiap hari Arni menyiapkan teh manis kesukaan bapak dan ibunya. Arni sudah hapal mengenap rumah, di mana tiang penyangga rumah, kursi tamu, kamarnya, tempat piring dan gelas, geras, gula, garam bahkan sampai bumbu-bumbu masak. Arni sering ke rumah pak lurah, pakdenya. Di rumah pakdenya Arni membantu bu lurah memasak, membereskan kamar Rusli anak Pakde.
Tengah asik Arni dan bu lurah memasak, pak lurah datang dengan senyum dan muka ceria. Pak lurah berseru-seru memanggil Arni, “Nduk Arni…nduk Arni” Arni menyahut,”Di dapur pakde, sama budhe, ini baru memasak sayur jipang” Pak lurah segera ke dapur dan memberi tahu Arni, “Nduk, Pakde punya kabar gembira, di kelurahan akan diadakan pelatihan pijat refleksi, saran pakdhe Arni ikut pelatihan, bagaimana Arni?” Arni tersenyum sumringah, dan membalas,”Ya padhe nanti saya beritahu bapak dan ibu, sekarang saya selesaikan masak membantu budhe dulu” Arni kembali menemani bu lurah memasak.
Matahari redup menemani wajah sumringah Arni berjalan ke rumah, dengan perlahan Arni melangkah menyusuri jalan. Wangi bunga melati, ceplok piring dan kenanga menandakan langkahnya sudah dekat dengan rumah. Arni masuk perlahan ke halam rumah, dipetiknya bunga beserta tangkainya, Ia cium wangi khas melati, bunga kesukaannya. Segera ia masuk ke rumah dan mencari ibunya. Arni tidak tahan mengabarkan kabar pelatihan pijat refleksi di kelurahan. “Buk, bapak dimana buk?” Arni bertanya, Sutadinama menyahut,”Belum pulang nduk, sebentar lagi. Bapakmu panen kacang panjang jadi agak telat, disiapkan tehnya dulu saja” Arni mengangguk tanda mengiyakan. Arni mengambil gelas tanah liat, ia masukkan teh baru dan gula batu, ia sodorkan pada ibunya,”Buk tolong air panasnya” Ibunya menuangkan air panas ke dalam gelas, mengambil namapan dan meletakkan di meja depan. Dari depan suara Kartadinama memanggil putrinya,”Nduk, ini nduk bapak bawa kacang panjang” Arni bergegas bergegas menemui bapaknya,”Pak sini Arni bawakan separuh” Arni mengambil kacang panjang dari bapaknya dan membawanya masuk. Sutadinama menyerahkan teh manis gula batu pada suaminya,”Pak ini tehnya buatan gendhuk” Kartadinama duduk di ruang tamu dan beristirahat sambil minum teh hangat buatan putrinya dan berucap,”Ehm, harum enak nduk, gendhuk tambahin melati ya” Arni menyahut, “Iya pak” Arni meneruskan,
”Eh anu pak, Arni punya kabar gembira pak”,