Mohon tunggu...
Muhammad Arif Asy-Syathori
Muhammad Arif Asy-Syathori Mohon Tunggu... Petani Sehat -

Bercita-cita sebagai penulis yang bisa menginspirasi dan memotivasi setiap orang yang membaca buku karyaku, Please visit ; kakakhahu.blogspot.co.id to know about me more!! Mari berteman...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Allah Lalu Lupa?

6 Januari 2016   12:38 Diperbarui: 6 Januari 2016   14:21 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="diambli dari : dobela023.blogspot.com"][/caption]

Mamak semakin menggigil kedinginan. Kejadian ini persis seperti membuka kenangan lama yang berakibat traumatik pada aku. 7 Tahun yang lalu sebelum ayah meninggalkan kami, ayah juga menggigil seperti ini. Adik-adikku masih terlelap dalam tidurnya.

Sembari menunggu air matang, aku mondar-mandir ke kamar mamak melihat keadaan mamak yang semakin menggigil, semakin membuatku khawatir, kemudian ke dapur menunggu air masak. Seandainya tidak perlulah aku membakar kayu bakar untuk memasak air seperti ini, cukup menekan tombol berwarna merah lalu mengucur air hangat untuk membuat teh buat mamak. Aku yakin kalau ayah masih ada disini, kami akan banyak uang seperti pak Komar tetangga kami. Mamak bisa dirawat di rumah sakit.. Suara batin yang memberontak ini mampu menggetarkan dinding-dinding hati sehingga air mata pun tak kuasa menetes.

“Mamak! Mamak! Mamak kenapa Mak?!” Aku segera berlari ke kamar mamak. Jelas itu adalah teriakan Ruw dan Ra dua adik kembarku. Ruw menggoncang-goncang tubuh mamak di samping kasur mamak berhadapan pas dengan wajah mamak, Ra naik kasur memeluk mamaknya yang diam membeku dan sudah tidak bernapas lagi. Adik-adikku terbangun oleh malaikat Izrail untuk menyaksikan mamaknya yang disayanginya meninggal. Kesedihanku akhirnya bersuara, aku benar-benar menangis, menangisi pedihnya kenyataan hidup yang harus aku alami, terlebih lagi kedua adikku yang baru berusia 6 tahun.

Malam gerhana di bulan Mei itu sangat sunyi. Tidak ada kelelawar terbang, angin yang menampar-nampar dinding rumah papan, tikus yang lewat, bintang-bintang, bahkan semut. Tampaknya semua makhluk dan semesta juga turut berduka bagi kami atas perginya orang yang paling kami sayangi.

Orang-orang kampung ikut melayat mengantar jasad mamak ke kuburan. Ruw dan Ra menggandeng tanganku dengan kuat, Ruw sebelah kiri, Ra sebelah kanan. Kami berada tepat di liang kubur mamak. Seseorang melakukan talkin, “bu Rukiyah, nanti kalau kalau Malaikat mungkar Nangkir menghampiri bu Rukiyah, ditanya ‘Man Robbuka?’ Jawab ‘Robbii Allah, Tuhan saya Allah.” Dan petunjuk-petunjuk lainnya supaya mamak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kubur. Rok yang kupakai ditarik-tarik Ruw lalu bibirnya didekatkannya ke telingaku “Apa yang dia lakukan Ni?”.

“Nanti uni jelaskan di rumah.” Jawabku.

“Apakah mamak lupa semuanya?” Sebelum aku beranjak berdiri lagi, tangan mungilnya menahan bahuku. Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya.

“Uni, mamak tidak mungkin lupa. Mamak guru TPA di kampung.” Katanya lagi. Jari telunjukku kutegakkan didepan bibirku menandakan ‘jangan banyak bicara! Diam!”

“Uni... Uni.” Dia menarik-narik rokku, tapi tidak aku pedulikan.

Ruw dan Ra memandangi apa yang terjadi di depannya sebelum mamaknya di pendam tanah hingga orang-orang meninggalkan kuburan mamaknya. “Ni, kenapa mamak harus diajari untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat ni?” Sedikit tertegun mendengar pertanyaan adikku, Ruw.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun