“Benar, apa mamak sebodoh itu? Bukannya mamak yang mengajari kami mengaji setiap sore?” Imbuh adik bungsuku Ra. “Memang seharusnya begitu.” Jawabku. “Tak usah lah kalian menarik-narik rokku seperti tadi, disaat kita harusnya berdoa untuk mamak.” Kalimat keduaku terucap lebih sensi.
“Apa yang akan dilakukan malaikat jika mamak tidak bisa menjawab pertanyaannya?”
“Apa sekarang mamak dalam bahaya? Apa malaikat itu mau menghukum mamak?”
“Kami mau pergi kesana lagi kak, kami mau menyelamatkan mamak!” Teriak Ruw. Mereka mendekati pintu rumah, tak kusangka mereka benar-benar serius.
“Kalau kalian pergi, kakak juga akan mati!” Bentakku. Adik kembarku diam, tak jadilah mereka pergi, lalu mereka mendekat.
“Kalau uni mati, aku dan Ruw ikut. Kami mau bilang sama Allah, kenapa Allah mendadak lupa? Kenapa Allah bertanya pada mamak? Allah sudah lihat mamak mengaji dan shalat, kenapa bertanya lagi?” Kata Ra lirih dengan sedikit bergetar. Mereka menangis, tak kuasa aku menahan sedih yang menimpa adik kembarku yang lucu tapi malang itu.
Aku gendong keduanya, aku menemani mereka tidur. Isak tangis berlarut, hingga tak terdengar lagi. Mereka sudah tidur. Aku memandangi wajah mereka, aku benar-benar kasihan kepada kedua adikku itu. Yaa Allah, benar kata mereka, kenapa Engkau lupa bahwa ayah dan mamak kami selalu berdoa untuk kebaikan mereka, supaya mereka terjaga, tapi kenapa engkau lupa pernah mendengar doa-doa mereka?. Ada sedikit senyum di bibir mereka, mungkin mereka bermimpi bertemu dengan mamak dan ayah di sana. Aku pejamkan mataku, berharap aku berada dalam mimpi yang sama dengan kedua adikku.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H