Dua kali terperanjat ketika membaca berita tentang Polisi yang tewas diserang penyerang di Polda Sumut. Terperanjat pertama, ketika membaca berita Kompas.com dengan judul Polisi yang diserang terduga teroris di Polda Sumut, 26/06/2017. Kenapa terperanjat.. karena saya pikir ada seorang Polisi yang terduga teroris. Nah.. ini baru berita pikir saya. Tapi setelah membaca lengkap beritanya baru paham rupanya Polisi diserang oleh orang yang terduga teroris, bukan Polisinya yang terduga teroris. Ini sepertinya sukses menggiring pembaca untuk melihat berita tersebut, hihi.
Terperanjat kedua, alangkah begitu berani dan kuat mental penyerang Pos Polisi Polda Sumut tersebut dengan meloncati pagar -diberitakan- dan menyerang kepada Polisi pertama di tempat dia beristirahat karena sedang tidak enak badan (sakit ringan) berdasarkan kronologis di berita, salah seorang perwira yakni Aiptu Martua Singgalingging, yang sempat melawan penyerang dibuktikan dengan banyaknya luka ditangannya untuk menangkis serangan penyerang yang menggunakan belati (pisau), tewas karena kehabisan darah. Rekannya, Brigadir E. Ginting yang saat itu berada di Pos Penjagaan II langsung membantu dan sempat berteriak sehingga didengar oleh rekan-rekannya (Brimob) yang sedang berada di Pos I, dan si penyerang pun 1 orang tewas di tembak, 1 orang dalam kondisi kritis.
Menyimak keberanian penyerang dengan nekat yang diperkirakan bakalan merenggut nyawanya, jadi bertanya-tanya. Jelas si penyerang mendapat bayaran tinggi karena nekat mempertaruhkan nyawanya. Siapa yang membayar pasti ada aktor intelektual dibelakangnya. Ketika dituliskan diberita bahwa ada terduga teroris yang melakukannya, sepertinya terlalu dini untuk itu, karena lazimnya type penyerangan seorang teroris memfokuskan pada kerumunan massa serta tempat-tempat umum, baik kerumunan massa masyarakat ataupun kerumunan massa sekelompok Polisi itu sendiri. Teroris melakukan itu karena ada suatu simbol pesan bentuk perlawanan kepada yang dianggap mereka tidak adil. DAN sering juga stigma ini melekat pada kelompok Islam jaringan keras. Ketika teringat kelompok Islam jaringan keras ini, sekali lagi sepertinya Media begitu terburu-buru menuliskan ada dugaan teroris yang melakukan penyerangan ini.Â
Jika berita itu ditulis seperti ini : "Penyerangan biadab terhadap Polisi di Sumut" tanpa ada embel-embel dugaan teroris mungkin ini lebih elegant, karena ketika sekali terbaca oleh masyarakat pembaca kita, kesan pertama yang tertangkap di otak, ya.. itu tadi pasti pelakunya kelompok Islam jaringan keras. Saya tidak tahu apakah tulisan berita itu juga berbau provokatif sehingga nantinya bisa mengarah ke stigma negatif kepada Umat Islam, ataukah tulisan itu memang disengaja untuk berbau provokatif. Jika ini memang benar, alangkah disayangkannya dimana ketika Pak Presiden sudah berupaya semaksimal mungkin "mengambil" dan "mengasingkan" tokoh-tokoh keras agar dapat lebih "empuk" untuk menyuarakan vokalnya sehingga iklim demokrasi di Negara kita ini akan menjadi lebih sejuk, penuh dengan kedamaian dan persatuan.
Hendaknya jangan lagilah dirusak dengan sekelumit pemberitaan dengan kata-kata yang tidak elegant tersebut. Beritakan apa adanya bahwa Polisi diserang oleh penyerang yang biadab sehingga menewaskan sang Polisi tersebut. Mau memancing reaksi publik agar berebut membaca berita itu, terus rating menjadi naik.., ya.. silahkan, tapi tolong koridor batas-batas nuansa kedamaian dan persatuan haruslah tetap dijunjung tinggi.
Jika ada yang tersinggung dengan tulisan ini, saya mohon maaf. Yakinlah tujuan saya cuma ingin agar Republik tercinta ini tetap berada dalam Nuansa Kedamaian dan Persatuan diantara kita sesama Warga Negara Indonesia tercinta. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H