Lebih baik saya ditembak mati oleh KPK, tulisan tangan OC Kaligis yang dibacakan Alamsyah Hanafiyah pengacaranya. Kasus suap di PTUN Medan yang bermula dari perkara korupsi dana bantuan sosial yang mengaitkan sejumlah pejabat di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Kasus korupsi ini digugat oleh Pemprov Sumatera Utara. Sebelum dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, kasus ini mengendap di Kejaksaan Tinggi Medan. Dalam proses gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan itulah, KPK kemudian membongkar dugaan praktik penyuapan yang dilakukan oleh Gerry kepada tiga hakim dan satu panitera. Gerry atau M Yagari Bhastara merupakan kuasa hukum dari kantor firma hukum OC Kaligis and Associates yang membela Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terkait perkara di PTUN Medan. Pengacara senior Otto Cornelis Kaligis itu menolak diperiksa oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Kaligis menolak diperiksa karena merasa ada yang janggal pada kasusnya. Dia mempertanyakan mengapa KPK lebih dulu menetapkannya sebagai tersangka, lalu kemudian memeriksanya sebagai saksi. Kompas.com 28/7/2015.
KUHAP tak mewajibkan seorang saksi atau calon tersangka harus diperiksa terlebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka. KUHAP dengan jelas menyebutkan bahwa penetapan tersangka bisa dilakukan jika telah didapatkan bukti permulaan yang cukup. Jika sudah demikian, keterangan saksi menjadi tidak relevan. Jika penyidik merasa yakin dan cukup dengan alat bukti yang dimilikinya dapat segera menetapkan seseorang sebagai tersangka. Kata Dosen Hukum Pidana Universitas Andalas Shinta Agustina (Kompas.com 10/2/2015).
Menurut KPK, OC Kaligis berhak untuk tidak diperiksa karena dia menjadi saksi sekaligus tersangka, itu memang diatur secara universal kecuali jika dia hanya menjadi saksi maka harus mau diperiksa, jika tidak mau diperiksa akan dikenakan sanksi sesuai diatur UU Tipikor, kata Plt Wakil Ketua KPK. OC Kaligis kembali tidak mau diperiksa, kemarin, usai kesehatannya memburuk. Kaligis berpendapat tidak perlu lagi ada yang diperiksa dari dirinya, bahkan dia meminta agar kasusnya langsung disidangkan saja. (Tribunnews, 29/72015)Â
Lebih baik saya ditembak mati oleh KPK, pernyataan pengacara senior ini terkesan bermakna ganda. Mungkin KPK hanya menangkap tangan si Gerry kuasa hukum firma associates sehingga beliau merasa dia tidak bersalah. Atau bisa jadi si Pengacara Senior merasa sangat malu atas kasus menimpanya yang selama ini beliau tidak pernah tersandung masalah hukum. Atau juga beliau merasa tidak pernah makan uang suap itu. Kaligis mengaku tidak tahu-menahu mengenai dugaan suap yang diberikan Gerry kepada hakim dan panitera. Ia pun tidak pernah menyuruh Gerry berangkat ke Medan.
Ada pendapat yang menyebutkan bahwa Korupsi atau kasus suap-menyuap timbul karena ada oknum yang melakukannya. Ini ulah oknum yang memang suka korupsi karena salah satunya prilaku hidup hedonis (kesenangan sesaat), ingin selalu bermewah-mewahan. Pendapat ini ada benarnya, karena prilaku korupsi muncul karena adanya kondisi yang mendukungnya, pada kasus suap di PTUN Medan ini kondisi yang mendukungnya adalah ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan dan kurangnya transparansi. Pada kasus ini. si Gerry, anak buahnya OC Kaligis menyuap Hakim PTUN Medan untuk berupaya memenangkan perkara korupsi Gubernur Medan atau minimal mengurangi sanksi hukuman. Uang yang diberikan bersumber dari sang Gubernur.
Jika dilihat dari ini wajar jika pengacara senior OC Kaligis bagaikan kebakaran jenggot karena dia merasa tidak tahu menahu kalau Gerry memberikan suap kepada Hakim dan Panitera. Sepertinya juga KPK terlalu buru-buru menetapkan OC Kaligis sebagai tersangka. Hal ini mungkin KPK khawatir jika tidak buru-buru ditetapkan sebagai tersangka ada kemungkinan KPK akan kalah dalam persidangan karena kita tahu piawainya Pengacara Senior ini.
Terlepas dari itu semua, keinginan melakukan korupsi atau menyuap dari suatu oknum terkait sangat erat dengan kondisi yang mendukung timbulnya korupsi dan praktek suap tersebut. Kondisi-kondisi mendukung inilah yang harus dihilangkan atau setidaknya diminimalisir. Jalan menuju kearah sana salah satunya mungkin dengan membuat suatu aturan jelas dan tegas atau membuat suatu sistem baku dan mengikat sebagai kontrol kepada para fihak atau pejabat yang terkait. Bukan rahasia umum lagi jika dalam Peradilan atau Pengadilan sering kita temui adanya praktek-praktek mafia bermain disana, hukuman bisa berkurang terhadap seorang tersangka atau terdakwa melalui action-action di luar persidangan atau "behind the scece" (dibelakang layar) dengan memberikan "jatah preman" pada Hakim, Jaksa maupun Panitera. Jatah preman inilah yang tidak akan bisa dikontrol atau tidak akan bisa untuk di transparansikan. Mentransparansikan hal ini artinya UU Perlindungan Saksi haruslah berjalan ketat karena taruhannya nyawa melayang. Padahal nyawa hanya satu-satunya yang ada ditubuh sang saksi.
Membuat terhadap suatu sistem baku dan mengikat, tentu sebuah pekerjaan dari Pemimpin bangsa ini. Sistem baku dan mengikat itu mungkin bisa dimulai dari UU Perlindungan Saksi yang benar-benar menjamin nyawa dari si pemberi saksi. Atau bisa juga dengan rencana BIN (Badan Intelejen Negara) menambah personil mereka untuk disebar kedaerah-daerah dengan keterlatihan personilnya tanpa ada sedikitpun orang-orang disekitar kehidupannya yang tahu bahwa dia anggota BIN. Hanya Tuhan dan atasannya saja yang tahu ataupun dia sama sekali tidak tahu dan mengenal atasannya (kayak Charlie's Angels aja..). Atau memang personil KPK sudah ada dimana-mana, atau juga personil reskrim tipidkor sudah banyak di daerah-daerah. Jika ada yang bersedia menjawabnya silahkan..
Akan tetapi walaupun telah adanya sistem baku dan mengikat tetap saja ada celah mafia bermain disana dus dikarenakan adanya "behind the scene" tadi. Sang personil BIN yang "Charlie's Angels" atau penjaga rumah perlindungan saksi atau personil reskrim tipidkor atau personil KPK pada cerita tadi, juga "terancam" dengan deskripsi "behind the scene" itu, manusiawi kan.. Jadi ketika kepala kita mumet memikirkannya, biarlah sang Pemimpin Negeri ini saja yang mumet memikirkannya karena beliau memang sudah ditakdirkan untuk bermumet ria memikirkan hal itu. Dan ketika tulisan ini dibuat, saya pun mumet memilihkan kata-kata untuk menyoroti suap menyuap atau korupsi di Negeri ini. Ide "Revolusi Mental" dari sang Pemimpin Negeri ini, suatu ide yang gampang disebut tapi gampang pula dilupakan, dimasukan atau ditinggal dirumah ketika sedang pergi menjalankan tugas Negara. Kenapa ditinggalkan.., daripada mati hari ini lebih baik mati hari esok (pepatah sableng menyangkut fulus..).
Dan tulisan ini maaf kalau membuat pembaca jadi mumet. Maksud hati merangkul gunung apa daya yang terangkul cuma kaki gunungnya saja, berhubung "witness protection home". Salam takzim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H