Mohon tunggu...
Asron Da Finsie
Asron Da Finsie Mohon Tunggu... Local Civil Government -

Mengisi waktu luang dengan menulis sepulang kerja aplikasi penglihatan mata, hati dan telinga terhadap lingkungan sekitar untuk perubahan kehidupan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kriminalisasi Sistematis, oleh Polisi, KPK, KY atau LSM?

14 Juli 2015   23:44 Diperbarui: 15 Juli 2015   00:05 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penetapan tersangka pimpinan KY dianggap rangkaian kriminalisasi sistematis. Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menengarai penetapan tersangka dua pimpinan Komisi Yudisial merupakan rangkaian kriminalisasi yang dilakukan secara sistemik. Hal tersebut merupakan kelanjutan dari kriminalisasi terhadap dua Pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

Sistematis adalah segala usaha untuk menguraikan dan merumuskan sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya

Kriminalisasi (bahasa Inggris: criminalization) dalam ilmu kriminologi adalah sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan perilaku individu-individu yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat"

Dari gabungan kata kriminalisasi sistemik/sistematis tersebut, artinya perubahan perilaku individu yang cenderung menjadi penjahat yang dilakukannya dengan membentuk sistem yang utuh, menyeluruh, terpadu dan mampu merangkaikan sebab akibat dari objeknya (yang dituju untuk dikriminalisasi).

Dalam perkembangan penggunaannya, kriminalisasi mengalami neologisme, yaitu menjadi sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena hanya adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh dalam perseteruan KPK dan polisi, kata kriminalisasi digunakan media untuk mendefinisikan upaya polisi menjerat pemimpin KPK 

Dari paparan diatas, bermakna bahwa kriminalisasi sistemik ialah perbuatan individu yang menjadi penjahat dikarenakan pemaksaan interprestasi (penerjemahan=pentafsiran) atas perundang-undangan sehingga dianggap sebagai kriminalisasi formal atau resmi. Jika disandingkan, permasalahan antara Hakim Sarpin dan Komisioner KY bermula saat KY melakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Hakim Sarpin dalam memimpin sidang praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam sidang itu, Sarpin memutuskan bahwa penetapan Komjen Pol Budi sebagai tersangka tidak sah. Karena putusan Hakim Sarpin yang seperti inilah membuat KY melakukan penyidikan dan Hakim Sarpin diduga melanggar kode etik, lebih jauh dikatakan bodoh dan termasuk salah satu hakim yang beriwayat buruk.

Dalam hal ini, menurut opini penulis, Komisioner KY tampaknya telah terstigma oleh opini publik yang menganggap bahwa Komjen Pol Budi Gunawan seorang tersangka korupsi yang ditetapkan KPK (atau dengan kata lain Penjahat). Sepertinya KY lupa akan azas praduga tak bersalah yang mesti diperlakukan sama pada setiap orang dimuka hukum, penetapan tersangka belumlah menjadi terdakwa. Ketika Hakim Sarpin memutuskan bahwa Komjen Pol Budi Gunawan bukan tersangka (penetapan sebagai tersangka tidak sah) justru malah terlihat adanya kriminalisasi sistemik ditujukan kepada Hakim Sarpin. Jika memang penetapan Hakim Sarpin melanggar kode etik (mungkin Kehakiman) atau melanggar UU, silahkan perkarakan si Hakim ke ranah hukum, bukannya dihujat dengan perkataan yang tidak pantas melalui media, atau gampangnya panggil saja si Hakim dengan bicara empat mata (istilahnya) dan katakan dengan blak-blakan bahwa dia melanggar kode etik dan sebagainya tanpa harus diomongkan ke publik atau karena ini menyangkut lembaga kehakiman sehingga yang di kritik atau dihujat bukan pribadi si Hakim tapi lembaganya (salah satu alasan pembelaan KY). Kalau begitu lembaganya yang salah bukan pribadi hakimnya yang melanggar. Hukum saja lembaganya jangan menghukum Hakim Sarpin-nya melalui pencemaran nama baik, setiap orang berhak atas nama baik dan persoalan riwayat buruk juga mungkin tidak pernah terpublikasikan. Trus jika memang terbukti putusan Hakim Sarpin salah, dianya di praperadilan kan juga atau dituntut ke pengadilan dengan tema si Hakim telah salah dalam menetapkan keputusan tanpa melihat alat-alat bukti lebih teliti. Ah.. jadinya malah semakin ribet.

Coba lihat berikut ini ada pendapat yang dikemukakan oleh anggota Komisi III DPR Arsul Sani kepada Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (11/7/2015). Katanya "Dari kacamata hukum, tentu melaporkan kepada polisi atas suatu dugaan tindak pidana yang merugikan seseorang merupakan hak hukum, termasuk hakim Sarpin. Namun dalam menyikapi laporan seperti ini menurut saya polisi perlu mengembangkan proses hukum yang hati-hati,". Penilaian publik tak bisa lepas ‎dari sidang praperadilan yang diajukan Wakil Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan atas penetapan tersangka dirinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sarpin yang ketika itu menjadi hakimnya memenangkan Budi Gunawan. Publik bisa menilai ada unsur bahwa polisi ingin berterima kasih terhadap hakim Sarpin yang mengabulkan permohonan praperadilan Pak Budi Gunawan. Selain itu, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengatakan, penetapan 2 pimpinan KY itu datanya diambil dari pemberitaan media massa. Pihak kepolisian sebaiknya berkonsultasi dengan Dewan Pers apakah pemberitaan yang dimaksud Sarpin benar masuk ranah pencemaran nama baik atau tidak. Sepemahaman saya, laporan hakim Sarpin ini kan didasarkan pada kutipan pemberitaan di media. Nah, karena itu tentu lebih baik polisi berkonsultasi dengan Dewan Pers. Karena di sini ada ketentuan-ketentuan UU Pokok Pers yg juga perlu diperhatikan. Bisa saja kutipan pemberitaan yg dijadikan dasar laporan itu adalah kalimat yang bukan diucapkan oleh Komisioner KY, tapi pilihan kata-kata yang dituliskan oleh redaktur medianya‎," tandas Arsul Sani.

Pendapat Arsul Sani tersebut ada benarnya, oleh karena itu tentang kriminalisasi sistemik itu siapa yang menjadi aktornya, apakah kepolisian atau hakim (dalam hal ini Hakim Sarpin) atau komisioner KY atau masyarakat (dalam hal ini LSM) yang menyatakan bahwa rangkaian penetapan tersangka bagi komisioner KY itu adalah bentuk kriminalisasi sistemik. Sebagai orang awam, saya memaknai adanya kepentingan yang saling bertabrakan, disatu sisi kepentingan untuk menegakkan kampanye anti korupsi dan disisi lain ada kepentingan untuk menyelamatkan suatu lembaga dari merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut (Kepolisian). Jika benar yang dikatakan komisioner KY bahwa pernyataan itu ditujukan bukan pada pribadi Hakim Sarpin tapi tujuannya adalah lembaga, artinya Kehakiman. Dan ini wajar-wajar saja bila lembaga kepolisian berupaya menyelamatkan lembaganya dari stigma negatif masyarakat, begitu juga lembaga kehakiman akan bersikap sama dan tak ketinggalan lembaga KY juga akan berlaku sama. Keluarannya ke publik adalah kepentingan masing-masing lembaga untuk mempertahankan citra baiknya di masyarakat. Person yang kebetulan ikut terseret dalam kepentingan ini berarti hanyalah sebagai pintu masuk saja. Ada scenario besar yang dimainkan oleh aktor yang piawai untuk mencapai "goal" tertentu, dan artinya penjustice-an kriminalisasi sistemik itu memang benar-benar terjadi. Ah.. ini cuma analisa penulis yang tidak begitu tajam karena pasti ada analisa yang lebih tajam lainnya dengan data dan fakta yang konkrit serta valid. Akhirnya juga, penulis hanya prihatin melihat gontok-gontokan ini dan berharap semoga Pak Presiden tidak terpengaruh untuk ikut serta urun rembug masuk kedalam permasalahan ini (seperti diminta komisioner KY). Biarkan hukum memainkan peranannya dengan penunjukan alat-alat bukti yang cukup untuk memutuskan perkara ini. Siapa yang bersalah atau tidak, siapa yang hanya untuk pencitraan atau siapa yang tulus membangun bangsa ini nanti akan terkuak ke publik. semoga..

Foto : Kompas.com
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun