Tanpa terasa usia Republik ini sudah tua padahal rasa-rasanya baru 18 tahun menelusuri, merasakan, menghayati dan menikmati perayaan peringatan 17-an di komplek perumahan kami. Diawal-awal berdirinya komplek saya selalu tak ketinggalan ikut larut berpartisipasi dalam acara 17-an, mulai menjadi panitia pengumpul dana sampai suatu ketika pernah menjadi Ketua Panitia dan beragam ide menarik dan unik untuk memeriahkan 17-an selalu ditampilkan. Mulai dari yang lazim dilihat dimana-mana sampai yang gak lazim sayangnya belum pernah diliput oleh stasiun TV Nasional karena daerah kami jauh dari Jakarta dan ibukota Provinsi.
Namun kemeriahan tetaplah kemeriahan yang tak terusik oleh tayangan TV manapun. Yang tak terusik oleh isu melambatnya laju perekonomian Indonesia saat ini atau isu pasal penghinaan pada Presiden. Warga tetap berantusias untuk merayakan 17-an dengan caranya sendiri karena difihak Kelurahan isunya sedang mengencangkan ikat pinggang sehingga tidak bisa membantu dalam hal pendanaan untuk merayakan 17-an di Kelurahan. Jadilah warga berpatungan mengumpulkan dana secara sukarela sehingga perayaan 17-an tetap the show must go on, bendera-bendera dengan motif merah putih dipadukan dan dikreasikan dengan umbul-umbul atau pesan dari sponsor sehingga terlihat begitu semarak.
Warga fikir juga apa salahnya setahun sekali bergembira ria berkumpul dengan para tetangga komplek satu RT bercampur baur antara anak-anak dan orangtua, yang penting fikir mereka anak-anak lah yang harus mendapatkan hiburan karena mereka kasihan melihat anak-anak yang hanya manyun menonton TV dirumah tanpa bisa mengikuti perlombaan-perlombaan yang tentu mengasyikkan dan menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Berbagai jenis perlombaan mereka buat dan adakan untuk anak-anak mereka dan tak ketinggalan sekaligus untuk orangtuanya. Dimulai dari lomba lari karung, joget pake balon, memasukkan paku kedalam mulut botol, makan kerupuk sampai akhirnya lomba makan 'model'.
Model kok dimakan, memangnya bisa dimakan si model itu. Model disini adalah makanan khas Palembang yang sebenarnya berasal dari makanan empek-empek atau
pempek yang mengalami modifikasi sehingga bernama 'model'.
Pempek atau
Empek-empek adalah makanan khas Palembang yang terbuat dari ikan dan sagu. Sebenarnya sulit untuk mengatakan bahwa pempek pusatnya adalah Palembang karena hampir di semua daerah di Sumatera Selatan memproduksinya.
Menurut sejarahnya pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Cina ke Palembang, sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa di kesultanan Palembang Darussalam. Nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan "apek", yaitu sebutan untuk lelaki tua keturunan Cina sedangkan "koh", yaitu sebutan untuk lelaki muda keturunan Cina.
Berdasarkan cerita rakyat, sekitar tahun 1617 seorang apek berusia 65 tahun yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi yang belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang (disayur). Ia kemudian mencoba alternatif pengolahan lain. Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan sebutan "pek … apek", maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai empek-empek atau pempek. Namun ada juga yang menyebutkan sangat mungkin pempek merupakan adaptasi dari makanan Cina seperti baso ikan, kekian ataupun ngohyang.
Pada awalnya pempek dibuat dari ikan belida. Namun, dengan semakin langka dan mahalnya harga ikan belida, ikan tersebut diganti dengan ikan gabus yang harganya lebih murah, tetapi dengan rasa yang tetap gurih. Dan perkembangan selanjutnya, digunakan juga jenis ikan sungai lainnya, misalnya ikan putak, toman, dan bujuk. Dipakai juga jenis ikan laut seperti Tenggiri, Kakap Merah, parang-parang, ekor kuning, dan ikan sebelah. Juga sudah ada yang menggunakan ikan dencis, ikan lele serta ikan tuna putih.
Dari satu adonan pempek, ada banyak makanan yang bisa dihasilkan, bergantung pada komposisi maupun proses pengolahan akhir dan pola penyajian. Di antaranya adalah Laksan, Tekwan, Model dan Celimpungan. Laksan dan celimpungan disajikan dalam kuah yang mengandung santan, sedangkan model dan tekwan disajikan dalam kuah yang mengandung kuping gajah, kepala udang, bengkuang, serta ditaburi irisan daun bawang, seledri, dan bawang goreng dan bumbu lainnya. Varian baru juga sudah mulai dibuat orang, misalnya saja kreasi Pempek keju, pempek baso sapi, pempek sosis serta pempek lenggang keju yang dipanggang di wajan anti lengket, serta sekarang warga Palembang pun membuat pempek dengan bahan dasar terigu dan nasi sebagai pengganti ikan.
Lho kok berbicara makanan.. ya gak apalah itung-itung ikut mengenalkan makanan khas Sumatera Selatan ini. Sudah 70 Tahun peringatan kemerdekaan Republik Indonesia dirayakan dari tingkat Nasional sampai Tingkat warga di RT komplek kami yang rasa-rasanya baru 18 tahun, heeh.. ngakunya muda terus.. Usia 70 Tahun sudah kakek-kakek atau nenek-nenek begitupun Republik Indonesia. Dengan usia 70 tahun sudah tentu semakin matang dalam menyikapi hidup dan kehidupan ini. Bukannya malah masih asyik berdebat pasal penghinaan Presiden dalam ILC (Indonesia Lawyer Club) Minggu malam, 16/8/2015. Menurut warga komplek kami sudah jelas apa yang disebut Penghinaan dan mana yang disebut Kritikan. Jika seseorang menghina orang lain pasti tidak menyenangkan terhadap yang dihina dan bentuknya pun sudah jelas, semisal menganggap bahwa orang yang dihinanya sebagai anjing, babi, kucing, tai dan sebagainya. Ketika ada netizen dianggap menghina Presiden dengan mau menebas atau menyembelih sang Presiden jika beliau bukan Islam. Ini sudah jelas bukan penghinaan tapi ancaman, wajar kalau Bareskrim ragu-ragu untuk menangkapnya, adukan saja si pengancam dengan mencoba melakukan ancaman yang kebetulan terjadi kepada Presiden. Jika si pengancam mengatakan kalau Presiden itu anjing yang harus ditebas.. nah.. ini jelas penghinaan menyamakan Presiden dengan anjing. Jadi ketika ini didiskusikan menjadi terkesan semakin panjang dan berlarut-larut dan implikasinya semakin naik lah rating acara TV itu dengan iklan mengantri untuk memenuhi pundi-pundi 'panita' acara talkshow tersebut. Sementara penonton seperti dibodohi padahal penonton sudah jelas-jelas bisa membedakan mana penghinaan mana kritikan. Tapi karena sudah 70 Tahun mungkin juga sudah pikun sehingga lupa membedakan kedua istilah itu. Alasan pembenaran menghidupkan kembali pasal penghinaan yang pernah di batalkan oleh MK Tahun 2006, tidak bisa ditolerir karena ini jelas akan membungkam hak publik untuk mengetahui informasi sekecil dan sepahit apapun.
Jika misi ini tidak mau atau tidak setuju ya sudah kita kembali ke zaman Kerajaan saja. Kerajaan Sriwijaya pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II sehinga kita bisa makan pempek sepuas-puasnya karena ikan belida masih banyak di Sungai Musi kala itu. Dan peringatan HUT RI ke 70 tahun ini, jangalah menjadi refleksi kepikunan karena usia tua kita, 70 tahun. Jika ini terjadi dikhawatirkan kita akan semakin bodoh atau mudah dibodoh-bodohin dan pada akhirnya mati, padahal kita ingin hidup seribu tahun lagi (Chairil Anwar). Salam.
Â
Lihat Humaniora Selengkapnya