[caption caption="Konsumen membeli BBM di SPBU kawasan Tanah Abang, Jakarta, Selasa (29/3/2016). (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)"][/caption]Penurunan harga BBM tepat tanggal 1 April 2016 lalu dengan memberlakukan harga baru untuk bahan bakar minyak jenis premium dan solar. Harga premium yang semula Rp 6.950 turun menjadi Rp 6.450, sedangkan harga solar yang semula Rp 5.650 kini menjadi Rp 5.150. Turunnya harga BBM diharapkan juga akan berimbas pada penurunan harga-harga lainnya, seperti harga bahan pangan dan tarif angkutan umum.Â
Melihat fakta penurunan BBM itu tentu hati kita menjadi riang, seriang harapan yang akan muncul, misalnya harga bahan-bahan pokok ikut turun plus tarif angkot dan semua jenis barang kebutuhan hidup menjadi turun. Dalam hitungan sebab-akibat terhadap turunnya harga BBM yang sebagian besar digunakan untuk operasional pendistribusian semua jenis produk barang dan jasa sebagai penunjang hidup dan kehidupan manusia, tentu akan berlaku hubungan sebab-akibat ini. Akan tetapi, mengapa ketika kita lihat di lapangan, tarif angkot bergeming, harga bahan pokok (sembako) masih seperti dulu. Apakah memang efeknya belum begitu berimbas pada hubungan sebab-akibat dikarenakan memang baru beberapa hari yang lalu turunnya harga tersebut.
Jika kita lihat cuitan netizen pada beberapa media online rata-rata bernada pesimis untuk diikuti turunnya juga harga kebutuhan pokok. Kepesimisan itu terlihat lebih mengarah pada ketidakpercayaan mereka terhadap action dari Pemerintah untuk katakanlah memastikan agar harga kebutuhan pokok ikut turun. Dalam hal ini para pelaku pasar, baik produsen maupun distributor, sepertinya juga menganggap angin lalu turunnya harga BBM. Mereka mungkin beranggapan bahwa sepertinya Pemerintah hanya main-main dan uji coba menurunkan harga BBM karena toh nanti akhirnya masih dinaikkan kembali.Â
Imbas ini, mereka tidak buru-buru menurunkan harga produk barang dan jasa di pasaran. Dalam iklim demokrasi sekarang ini, Pemerintah juga tampaknya tidak berani (belum berani) terlalu campur tangan untuk membuat action mengatur para pelaku pasar tersebut. Tinggal lagi hukum pasarlah yang akan mengevolusi harga-harga produk barang dan jasa di pasaran tersebut, yakni ketika persediaan (supply) barang dan jasa melimpah dan permintaan (demand) barang dan jasa menurun, secara otomatis produk barang dan jasa di pasaran harganya akan turun, begitu pun sebaliknya.
Jadi suatu kewajaran jika netizen ataupun masyarakat pada umumnya bersikap pesimis akan terjadi penurunan harga produk barang dan jasa di pasaran. Harapan sekarang menunggu hukum pasar supply dan demand terjadi. Dan apakah ini akan terjadi, persediaan melimpah, permintaan sedikit sehingga harga menjadi turun karena persaingan atau karena jika tidak terjual produk akan menjadi rusak, layu atau hancur. Hal ini dapat diruntut dari jenis produk barang dan jasa itu sendiri. Jika produk barang merupakan hasil pertanian, hal ini dapat diharapkan berlaku atau terjadi karena kemungkinan rusak, layu sangat mungkin terjadi. Tetapi ketika produk barang apalagi jasa yang bisa bertahan lama, kemungkinan untuk turunnya harga sangat kecil.
Jika dihubungkan dengan sebab-akibat tadi dan bersandar pada analisis sederhana ini, produk pertanian yang termasuk di dalamnya beras, gula, sayur-sayuran, kopi, dan sebagainya tentu harganya akan turun sesuai dengan persediaan melimpah dan permintaan sedikit karena melimpah tadi. Jadi, kita mungkin mesti menunggu dulu untuk melimpahnya persediaan biar harganya turun.
Apakah sesederhana itu? Aha, tampaknya tidak karena seperti pemberitaan media bahwa Pemerintah akan mengkaji kembali penurunan harga BBM tersebut, dan kita tangkap maknanya bahwa turunnya harga BBM itu tidak akan bertahan lama alias akan naik kembali atau istilah halusnya akan disesuaikan.Â
Pemerintah tidak akan terlalu berani berspekulasi untuk tetap bertahan dengan harga BBM yang turun sekarang ini karena salah satu risikonya beban penyelenggaraan Negara ini semakin berat untuk sekadar mensubsidi rakyat dengan BBM MURAH sedangkan untuk membeli minyak mentah di pasaran global harganya tinggi. Untuk membeli minyak di pasaran global itu harus menggunakan sumber uang dari mana, apakah dari pinjaman utang luar negeri yang sudah semakin besar itu atau bisa menggunakan sumber uang hasil pendapatan Negara dari pajak, sedangkan PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) bagi penghasilan pribadi sekarang ini semakin diperbesar dengan harapan akan meningkatkan daya beli masyarakat di pasaran yang berimbas laku atau hidupnya proses jual beli di pasaran.
Dan jika harga-harga di pasaran memang menurun sesuai mekanisme pasar tadi, hal ini dapatlah memungkinkan timbulnya harapan akan kesejahteraan masyarakat karena daya beli yang meningkat dan ada kelebihan sedikit dari penghasilan masyarakat untuk di tabung. Akan tetapi jika harga-harga tidak kunjung menurun jua, apakah kita mesti menunggu dengan sabar sampai bulan Juni di mana target harga BBM akan dievaluasi dan disesuaikan, jika tidak mau dikatakan di-naik-kan kembali.Â
Penilaian tergantung pada mekanisme pasar, eit... salah... maksudnya pada masyarakat itu sendiri. Jika masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, mungkin bisa bersabar, tapi bagaimana dengan masyarakat berpenghasilan ke bawah (rendah), ya... paling-paling hanya banyak komat-kamit berdoa agar tidak mati sampai bulan Juni, dan selalu bisa bersyukur, itu saja harapannya.
Paparan dan analisis sederhana ini mungkin bukanlah sesuatu yang signifikan untuk dipedomani karena saya sendiri bukanlah seorang yang ahli dalam perekonomian. Ini hanya sekedar sharing pendapat yang muncul dari ketidaktahuan serta kekurangan informasi yang saya dapat tentang penurunan harga BBM yang berimbas atau multiplayer effects pada perputaran perekonomian yang terjadi di masyarakat sehingga pada ujungnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.Â