Sampai pekan ini, kabut asap masih menyelimuti kota kami, sebuah kota yang berdekatan dengan Jambi dan pastinya masuk wilayah Sumatera. Tidak separah dengan daerah Riau, Kalimantan memang, tapi mata pedih, pandangan kedepan hanya beberapa meter saja, jika memandang ke langit yang tampak bukan langit hijau seperti biasanya tapi buram putih sepanjang mata memandang. Perasaan pun menjadi campur aduk tak karuan, terasa terkurung dalam sebuah kotak raksasa putih buram yang tidak bisa melihat kemana-mana, serasa bagaikan dalam 'penjara dunia'.
Itulah sebagian ungkapan yang kami rasakan dan pastilah kosa kata ungkapan ini akan banyak sekali terungkap dilokasi daerah dimana asap menyelimuti tebal (Riau, Palembang, Kalimantan dan sebagainya). Sampai-sampai ada anak muda menuliskan status di akun FB miliknya dianggap bernada Rasis dan membuat para netizen bereaksi.
Kegeraman, kejengkelan juga kebingungan sehingga membuat hal itu terjadi. Tidak ada yang dapat dilakukan manusia, Pemerintah atau swasta atau siapapun untuk dapat menghilangkan kabut asap yang sudah menjalar ke negeri tetangga Singapura ini. Mungkin hanya Tuhan lah yang sanggup mengusir kabut asap ini dengan menurunkan hujan lebat Nya.
Dibenak saya juga berseliweran fikiran, antara geram, jengkel, sedih, prihatin dan bingung penuh tanda tanya. Mengapa harus Tuhan yang hanya bisa mengusir kabut asap tersebut. Bukankah ini semua karena ulah manusia, seperti kata Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, akibat dari kebiasaan para petani yang membuka ladang dengan membakar lahan. Ulah manusia yang tak pernah berhenti dari tahun ke tahun atau setiap tahun. Kebiasaan tradisi turun temurun dari zaman nenek moyang sejak dahulu kala sebelum zaman pra sejarah. Ketika zaman modern ini katanya, hal ini masih tidak bisa ditinggalkan.
Apakah ini merupakan suatu kemunduran cara berfikir manusia atau memang manusianya yang tidak bisa berfikir maju mengikuti zaman. Atau manusia itu memang sudah berfikir tapi ini merupakan salah satu bentuk protes kepada Pemerintah. Protes karena setiap tahun Pemerintah dalam hal ini Presiden sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di Republik ini tidak bisa mengatasi permasalahan kabut asap ini. Pemerintah kan punya kewenangan untuk menggerakkan daya dan upaya mengatasi ini.
Pertanyaannya, apakah memang masyarakat sudah sedemikian beraninya dengan aparat (dalam hal ini Polisi Hutan), sehingga tembakan peringatan pun tidak digubris lagi. Keberanian masyarakat itu menimbulkan penafsiran beragam, antara lain apakah sang Polisi Hutan telah ikut bermain mata dengan para konglomerat pengusaha HPH dalam membangun kerajaan bisnis mereka. Atau pengusaha telah bermain mata dengan Penguasa Republik ini sehingga seolah-olah matanya kelilipan dan tidak bisa melihat bahwa hutan memang sengaja dibakar pengusaha dengan meminjam tangan masyarakat sebagai bagian dari cost penghematan untuk membuka lahan baru proyek kebun mereka sekaligus mengambil kayu di hutan yang ada turut bersamanya. Berantai pertanyaan dari kegeraman dan kejengkelan dari yang merasakan 'nikmatnya' kabut asap secara langsung. Mungkin sama bentuknya dengan tautan berbau rasis anak muda Kalimantan itu, cuma bedanya agak terkesan elegant karena ditulis melalui opini (ngakunya..).
Â
Foto : Google images
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H