Mohon tunggu...
Arfino Irtondo
Arfino Irtondo Mohon Tunggu... Narator, Penulis, Aktor, Pengisi Suara, Penyiar, Terapis bekam/pijat refleksi -

Anti basa-basi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mata yang Enak Dipandang-nya Ahmad Tohari; Cerita Penderitaan yang Tidak Berlebay-lebay

18 Januari 2014   17:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:42 2041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14176668491902158646

MESKIPUN termasuk yang tahu sejak awal perihal penerbitan ulang Mata yang Enak Dipandang (MyED)—buku kumpulan cerpen Ahmad Tohari—jelang akhir 2013 lalu, saya baru menyempatkan membelinya awal Januari 2014 ini. Memuat Kang Sarpin Minta Dikebiri—salah satu cerita pendek Ahmad Tohari kesukaan saya—yang berkisah tentang seorang pria dengan gairah seksual yang sangat tinggi, dan karenanya ia meminta untuk dikebiri, MyED juga memuat 14 cerpen lainnya. Dengan demikian, penerbitan ulang MyED oleh PT.Gramedia Pustaka Utama edisi 2013 ini, menambahkan beberapa cerpen yang pada edisi sebelumnya belum dimasukkan dalam MyED.

sumber gambar BukuKita.com

Beberapa cerpen yang baru dimasukkan dalam edisi tahun 2013 adalah Harta Gantungan; Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan; Dawir, Turah dan Totol; dan Salam dari Penyangga Langit. Sebelumnya, bersama sejumlah cerpen dari beberapa penulis terkemuka, Harta Gantungan termuat dalam buku kumpulan cerpen tema pernikahan yang disiapkan sebagai souvenir pernikahan putra sastrawan dan Kiyai Gus Mus beberapa tahun lalu.

Lain halnya dengan Dawir, Turah dan Totol. Berkisah tentang kehidupan para penghuni area sekitar terminal setelah menghadapi berbagai persoalan akibat dipindahkannya terminal bus ke tempat yang baru. Menurut penulisnya, cerpen yang pernah dimuat di Horison ini, terinspirasi oleh perpindahan terminal bus Purwokerto dari lokasi lama ke lokasi yang sekarang.

Cerpen Dawir, Turah dan Totol terasa istimewa bagi saya. Itu disebabkan karena gaya penceritaan yang lugas. Juga karena penggunaan kalimat yang efektif, yang tidak berpanjang-panjang kata. Cerpen yang sarat dengan realisme sosial ini, juga sangat gaul dalam penggunaan dialog para tokohnya.

*

SEPERTI dalam karya-karya Ahmad Tohari lainnya, MyED juga mengangkat warna lokal dan kehidupan rakyat kecil dengan segala pemikiran dan persoalannya. Persoalan—dan juga penderitaan—masyarakat kecil yang diwakili oleh para tokoh dalam cerpen-cerpen Ahmad Tohari, sungguh menyentuh.

Namun, Tohari mengungkapkan dalam bahasa tulis yang tidak ber-lebay-lebay. Maksud saya tidak ber-lebay-lebay adalah para tokoh itu dengan penderitaan dan kerumitan hidup mereka, tidak diungkapkan dalam bahasa memelas-melas, seolah penulisnya mengajak pembaca untuk kasihan.

Sebaliknya, para tokoh yang dilengkapi dengan berbagai persoalan dan penderitaan hidup mereka, diulas dalam deskripsi, narasi dan dialog, sesuai porsi yang tepat, seimbang, namun lengkap. Ini menyebabkan pembaca tersentuh, atau dibiarkan tersentuh, tanpa diberitahu bagaimana perasaan penulisnya.

*

SATU-satunya yang tidak biasa menurut saya dalam MyED terbaru adalah cerpen berjudul Salam dari Penyangga Langit. Saya sebut tidak biasa adalah karena cerpen ini, membahas soal tahlilan. Tahlilan yang menuai tanggapan beragam bahkan dari kalangan umat Islam sendiri, dalam Salam dari Penyangga Langit disodorkan kepada kita para pembaca. Pro kontra, manfaat, hikmah, bahkan penting dan tidak pentingnya tahlilan diungkap dengan gaya Tohari yang khas.

Ketidakbiasaan juga saya dapati dari cerpen ini, tersebab selama ini, walaupun Ahmad Tohari dibesarkan dalam lingkungan agama Islam yang taat, sangat jarang menyodorkan persoalan-persoalan keagamaan secara verbal. Yang ada selama ini dalam karya-karya Tohari adalah jauh dari kata-kata relijiusme seperti yang diusung oleh teman-teman penulis misalnya yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena.

Nilai relijiusme karya Ahmad Tohari adalah relijiusme tanpa kata-kata dan penyebutan istilah keagamaan tertentu. Sehingga karya-karya Ahmad Tohari, seandainya cerpen, itu dianggap bukan sebagai cerpen reliji. Namun demikian, karya-karya yang dianggap bukan reliji itulah yang sangat sering membawa pesan relijiusme yang sesungguhnya.

Hal itu bisa disebut misalnya dalam penggambaran dan lukisan suasana alam yang sangat kental dalam tulisan Ahmad Tohari, yang bagi saya menyentuh kerelijiusmean tertentu. Untunglah, walau mengangkat persoalan keagamaan,Salam dari Penyangga Langit, yang bisa saja kata 'malaikat' digunakan untuk mengganti 'penyangga langit', nyatanya tidak dilakukan.

Oleh sebab itu, Mata yang Enak Dipandang terbitan terbaru, menjadi salah satu hadiah spesial tidak hanya bagi penyuka karya Tohari, namun juga bagi para pecinta sastra pada umumnya. Sangat mungkin, seperti karya-karya Tohari lainnya, Mata yang Enak Dipandang adalah jugakarya yang sangat ditunggu-tunggu, lebih-lebih di tengah-tengah hiruk pikuk dunia sastra dan perbukuan Indonesia yang terjadi belakangan ini.

*

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun