Jakarta-Kasus dugaan pernikahan tidak sah antara Supian Hadi yang merupakan Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Kalimantan Tengah dengan Novita Anggraeni atau Vita KDI memberi berkah tersendiri buat sang bupati.
Sekilas, kalimat ini terasa biasa-biasa saja. Namun, bila diamati pemilihan kata yang tertulis di sana, sangat bertentangan dengan kebenaran publik. Kata “memberi berkah” apakah layak digunakan untuk sebuah “pernikahan tidak sah“?
Sejak kapan pernikahan tidak sah dianggap mengundang berkah? Saya yakin masyarakat mana pun, kelas sosial apa pun, suku dan agama manapun, berkeyakinan bahwa pernikahan itu harus dilakukan secara sah. Dalam artikel ini pernikahan tidak sah, justru dianggap membawa berkah.
*
Kasus Kompas.com dengan TTM-nya cukup membuat saya salut pada akhirnya. Karena dari yang saya baca, redaksi yang meloloskan artikel yang memuat "TTM-nya SS", mengundurkan diri. Pun artikelnya dihapus dari kanal Kompas.com. (Benarkah sudah dihapus? Atau saya yang keburu tidak kebagian link-nya?)
Hal yang membuat saya prihatin adalah pada berita kedua. Kira-kira sebulan lalu, saya sudah memposting komentar di bawah artikel itu. Saya tuliskan saran yang intinya mengatakan bahwa sebaiknya wartawan dan redaksi berhati-hati dalam memposting artikel, berhati-hati dalam penggunaan diksi agar tidak menyesatkan masyarakat.
Saya juga mengajukan saran, bahwa kata “memberi berkah” bisa saja diganti “membawa dampak lain”. Tetapi, hingga artikel ini saya tulis lalu sekarang saya posting, redaksional dalam artikel tersebut masih belum berubah. Bahkan komentar saya tidak terlihat. (Apakah memang komputer saya yang eror?)
Lebih prihatin lagi, setelah saya telusuri situs berita ini ternyata beralamat di Banda Aceh. Sebuah kota yang berada dalam propinsi yang istimewa, pun menerapkan syariat Islam bagi masyarakatnya. Pertanyaan atau renungan kritis saya adalah: Apakah Aceh mencoba sedang mencoba keluar dari syariat Islam, sehingga media masanya dibiarkan saja memposting berita 'pernikahan tidak sah yang memberi berkah'?
Memang kata-kata yang digunakan dalam dua kasus tadi, akan dinilai sebagai berita sampah. Sebab sudah jelas berisi gosip yang tidak berguna untuk Anda dan saya yang sering mengaku sebagai orang cerdas. Konsumen berita-berita gosip semacam itu adalah masyarakat berpola pikir tidak sehebat kita. Maka saya dan Anda mungkin saja langsung paham, bahwa itu menyesatkan dan tidak akan mempedulikannya.
Namun, saudara-saudara kita yang tidak sekritis dan secerdas kita, sangat mungkin akan disesatkan oleh berita-berita dengan redaksional yang keliru semacam itu. Tidakkah Anda peduli kepada mereka?
***