Sebagai penyelenggara sistem kenegaraan (dan juga pemerintahan), pegawai negeri dituntut untuk taat kepada NKRI dan Pemerintah RI yang sah menurut UUD. Dalam konteks pemilihan kepala pemerintahan, siapapun yang terpilih, otomatis adalah Pemimpin tertinggi PNS. Masalahnya, PNS yang berjumlah sekitar 4 juta-an itu bukanlah benda mati yang bebas dari kepentingan, terutama kepentingan mereka akan kelangsungan karir dan kesejahteraan. Sebagaimana karakteristik birokrasi yang rutin, kaku dan taat aturan, PNS pada umumnya cenderung "merasa aman" jika suksesi kepemimpinan yang terjadi berdampak paling minim terhadap "kepentingan" mereka saat ini. Bisa dikatakan PNS cenderung berpihak pada pihak yang tidak mengusik kepentingan mereka, atau paling tidak perubahan yang terjadi tidak membuat mereka terjebak dalam istilah "ganti pimpinan=ganti kebijkan", hal mana berarti mereka harus memulai sesuatu yang baru, sementara kebijakan pimpinan yang lama belum tuntas diaplikasikan.
Bahwa setiap calon presiden memiliki misi dan program yang, katanya, pro rakyat dan membela kepentingan nasional, itu memang sudah selayaknya orang berkampanye. Tapi, pernahkah kita berpikir siapa sesungguhnya pelaksana semua program itu? Yang sebenar-benarnya pelaksana? Yang karena kedudukannya "terpaksa" harus tunduk kepada kebijakan baru yang memaksa mereka bekerja dari nol lagi ?
Contoh paling nyata dari gonta-ganti program ini adalah pemberlakuan kurikulum untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Belum lagi jeda waktu sosialisasi kurikulum 2013 selesai, di penghujung tahun 2014 bisa saja akan ada kurikulum baru. Dan yang paling bertanggungjawab atas suksesnya penerapan kurikulum baru itu, tentu saja guru dan penyelenggara pendidikan sebagai titik temu paling alamiah antara warga dengan pemerintah. Guru akan menjawab semua keluhan rakyat tentang "apa", "kenapa", dan "bagaimana" kurikulum baru, dan sisi lain guru berhadapan dengan "pimpinan tertinggi", melalui struktur jabatan pemerintahan, yang menuntut agar kurikulum itu HARUS dapat diterima warga.
Singkatnya, pegawai negeri secara politis, tidak memiliki kepantingan apapun, karena mereka bekerja sesuai ketentuan yang telah digariskan. Tidak ada ruang "kebijakan", yang ada hanya ketaatan terhadap peraturan yang dibuat oleh para politikus. Lagipula, pegawai negeri sesungguhnya alergi terhadap dunia politik, tempat di mana aturan bisa dipelintir, dan undang-undang bisa dipesan. Para "pelayan negeri" ini, telah terbiasa bekerja dalam koridor yang baku dan standar. Semuanya harus sesuai ketentuan, jika tidak maka sanksi administratif dan bahkan sanksi pidana telah menunggu. Berbeda dengan politik yang " bila tidak sesuai ketentuan, rubahlah ketentuan itu, agar sesuai sesuai kepentingan kita"
Bagaimana dengan rakyat? Ahhh.....rakyat sibuk dengan urusan perut mereka masing-masing. Nggak sempat mikir yang beginian.............
......Midnight in Babang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H