Mohon tunggu...
Arfiansah Buhari
Arfiansah Buhari Mohon Tunggu... Human Resources - HR practitioner

Bekerja sebagai Talent Management Manager PT Surya Madistrindo

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Menanggapi Fenomena Quiet Quitting

26 September 2024   08:11 Diperbarui: 26 September 2024   08:30 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini, saya sering mendengar dan membaca fenomena tentang "quiet quitting". Istilah ini menggambarkan kondisi di mana seorang karyawan tetap hadir di tempat kerja secara fisik, tetapi mulai menarik diri secara mental dan emosional. Hal ini biasanya terjadi karena ketidakpuasan karyawan terhadap organisasi perusahaan bisa saja karena masalah konpensasi dan benefit, career, target kerja dll. Alasan ini cukup bisa untuk kita pahami dan sangat wajar jika kita merasa jenuh dan bertanya-tanya, "Apakah layak melakukan lebih jika usaha kita tampaknya tidak dihargai?

Namun, hal diatas justru membuat saya merenung lebih jauh. Dengan kondisi social ekonomi diindonesia yang sedang tidak baik- baik saja, Badai PHK dimana- mana, angka pengangguran yang meningkat akibat sulit mencari pekerjaan, dll. Apakah memilih "quiet quitting" dengan hanya sekadar menjalankan tugas minimum tanpa keterlibatan ekstra- adalah keputusan terbaik?

Dalam masa sulit seperti ini, kita mungkin merasa perlu menjaga jarak dari pekerjaan untuk melindungi diri secara emosional. Tapi justru di momen seperti ini, kita punya kesempatan untuk menunjukkan kekuatan dan kemampuan adaptasi kita. Ini bukan soal apa yang bisa perusahaan berikan saat ini, melainkan bagaimana kita bisa tetap bertahan, berkembang, dan memanfaatkan situasi untuk meningkatkan diri.

Saya paham bahwa ketika apresiasi berkurang, keingininan tidak tercapai, motivasi bisa menurun. Namun, apa yang kita bangun dari pengalaman ini akan sangat bernilai di masa depan. Sikap proaktif, bahkan di tengah tantangan, bisa membantu kita mengasah keterampilan baru, memperkuat daya saing, dan menumbuhkan kemampuan beradaptasi. Bahkan jika kita memutuskan untuk pindah kerja nanti, nilai-nilai ini akan tetap melekat pada diri kita.

Saya tidak berkata bahwa kita harus menerima segala keadaan tanpa syarat. Kita berhak merasa kecewa dan mengungkapkan ketidakpuasan. Namun, daripada mundur dan berhenti berusaha, mengapa tidak kita jadikan situasi ini sebagai peluang untuk tumbuh? Tetap berkontribusi secara aktif, tidak hanya untuk perusahaan tapi juga untuk diri sendiri, menunjukkan bahwa kita lebih besar dari tantangan yang ada.

Memang, saat ini terasa berat, tetapi kita juga bisa bertanya: Apa yang bisa kita pelajari? Bagaimana kita bisa menjadi profesional yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih kreatif? Fokus pada pertumbuhan akan memberi kita kesempatan untuk maju, bahkan di tengah krisis.

Sikap mental yang kuat di masa sulit akan meningkatkan daya saing kita, baik sekarang maupun di masa depan. Lebih penting lagi, kita memperkaya diri dengan keterampilan dan pola pikir yang akan membantu kita bertahan di berbagai situasi yang mungkin datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun