Mohon tunggu...
arfianomekaputra
arfianomekaputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya adalah membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Glodok: Simfoni Harmoni Dalam Ritme Sejarah

22 November 2024   10:27 Diperbarui: 22 November 2024   10:37 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jakarta, 18 November 2024 – Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, tersembunyi sebuah kisah menarik tentang keberagaman dan persatuan. Pecinan Glodok, yang kaya akan sejarah dan budaya, telah lama menjadi bukti nyata bagaimana komunitas yang beragam dapat hidup berdampingan dalam harmoni. Dengan bangunan-bangunan bersejarah seperti Gedung Candra Naya, Glodok menjadi saksi perjalanan sejarah yang penuh warna.

Gedung Candra Naya, yang dibangun pada awal abad ke-19 oleh Khow Kim An, seorang tokoh penting dalam komunitas Tionghoa, tidak hanya menjadi lambang kemegahan arsitektur, tetapi juga simbol kekayaan sejarah dan budaya kawasan ini. Dengan desain rumah megah berbentuk ekor walet, Gedung Candra Naya bukan hanya menjadi kediaman pribadi, melainkan juga pusat kegiatan sosial dan budaya bagi masyarakat Glodok. Sayangnya, sejarah kelam turut mewarnai perjalanan gedung ini. Pada tahun 1942, Khow Kim An ditangkap oleh Jepang, yang menambah lapisan sejarah suram bagi kawasan ini.

Namun, di balik peristiwa-peristiwa kelam tersebut, terdapat banyak kisah menarik tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Glodok. Gang-gang sempit yang penuh dengan warung makan, kelenteng, dan gereja menjadi saksi bisu bagaimana warga dari berbagai latar belakang saling berinteraksi. Kelenteng Jin De Yuan yang telah ada sejak lama, serta Gereja St. Maria De Fatima yang terinspirasi dari penampakan Bunda Maria di Portugal, berdiri berdampingan, menjadi simbol toleransi dan kerukunan.

Salah satu aspek menarik dari kehidupan di Glodok adalah pola komunikasi antarwarga. Bahasa Hokkien, yang menjadi bahasa sehari-hari sebagian besar warga Tionghoa, berfungsi sebagai jembatan komunikasi yang unik di kawasan ini. Namun, bahasa Indonesia juga menjadi bahasa pemersatu yang menghubungkan warga dari berbagai latar belakang, terutama dalam interaksi dengan warga muslim dan kristen.

Warung-warung makan di sekitar Gang Mangga, dengan beragam menu khasnya, menjadi tempat berkumpul yang menyenangkan bagi warga dari berbagai latar belakang. Di sini, mereka saling berbagi cerita, pengalaman, dan tentunya, menikmati makanan lezat. Tradisi-tradisi seperti perayaan Tahun Baru Imlek dan ibadah di kelenteng sering kali melibatkan warga non-Tionghoa, mempererat ikatan sosial antarwarga dan memperkokoh rasa persatuan.

Keberagaman agama dan budaya di Glodok justru menjadi kekuatan yang menyatukan. Warga muslim, kristen, dan konghucu hidup berdampingan dengan saling menghormati keyakinan masing-masing. Peristiwa sejarah, seperti pembantaian etnis Tionghoa di Kali Angke pada masa lalu, menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya persatuan, toleransi, dan saling menghormati antar kelompok masyarakat.

Kelenteng Toa Se Bio, yang didirikan pada tahun 1751, memiliki peran penting dalam menjaga tradisi dan budaya Tionghoa. Namun, kelenteng ini juga menjadi tempat berkumpul bagi warga dari berbagai latar belakang. Salah satu tradisi yang masih dilestarikan adalah pelepasan burung pipit Fangsen, yang dipercaya dapat membuang sial dan menjadi simbol harapan akan masa depan yang lebih baik bagi seluruh warga, tanpa memandang latar belakang agama dan budaya.

Meski demikian, Glodok juga menghadapi tantangan besar dalam menghadapi urbanisasi dan modernisasi yang berkembang pesat. Perubahan gaya hidup, serta masuknya budaya asing, berpotensi mengikis nilai-nilai tradisional yang selama ini dipertahankan. Meskipun demikian, semangat gotong royong dan toleransi yang telah tertanam dalam masyarakat Glodok sejak lama diyakini akan menjadi benteng yang kuat dalam menghadapi tantangan ini.

 

Glodok adalah mikrokosmos Indonesia yang plural. Sejarah panjang dan keberagamannya telah membentuk komunitas yang unik, di mana perbedaan agama, budaya, dan etnis tidak menjadi penghalang, melainkan kekuatan pemersatu. Melalui interaksi sehari-hari yang penuh keakraban dan kebersamaan, warga Glodok telah menunjukkan bahwa keberagaman adalah anugerah yang harus dijaga dan dilestarikan, sebagai contoh nyata betapa persatuan dapat terwujud di tengah keberagaman yang kaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun