KONTROVERSI PP 54/2005 dan PP 54/2008 PINJAMAN DAERAH
Sungguh mengagetkan karena tanpa sengaja saat mencari informasi mengenai Musrembangnas Nobember 2009 dan mencari PP 54/2005 tentang pinjaman Daerah di internet yang terbaca justru PP 54/2008 Tentang Tatacara Pengadaan dan Penerusan pinjaman Dalam negeri oleh Pemerintah.
Pada waktu awal membaca tidak begitu memperhatikan judul yangterutama menyangkut tahun terbit 2008, tapi pada saat mencari pasal yang akan ditujuh, penulis merasakan ada yang berubah pada redaksinya, kenapa isi 54/2005 berubah inilah yang menjadi awal keterkejutan.
PP 54/2005 dibuat sebagai turunan dan melengkapi UU 32/2004 Pemerintah Daerah dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Sehingga dalam mukadimahnya jelas dicantumkan kata- kata untuk melakasanakan pasal 171 UU 32 dan pasal 65 UU33 yaitu Pinjaman Daerah dan Obligasi daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). “Roh” dari PP ini sangat reformatif, persfektif, inovatif bahkan over optimis untuk pelaksanaan Otonomi Daerah.
Seiring waktu, dalam diskusi yang panjang ditemukan ada beberapa pasal yang sangat perspektif dan inovatif tadi yaitu: Pasal mengenai jangka waktu pinjaman, untuk apa meminjam dan Obligasi Daerah. Jangka Waktu pinjaman dan kegunaan pinjaman amat sangat sulit untuk dilksanakan oleh kepala daerah yang punya perhatian akan keterbatasan dan kondisi infrasrtuktur yang ada saat ini. Perbaikan infarstruktur sebagaimana amanat UU 32/2005 Otoda, membutuhkan biaya amat sangat besar dan tidak mungkin diselesaikan dalam satu masa jabatan 5 tahun kepala daerah.
Kontroversinya adalah sperti berikut ini :
1. Anggaran yang dibutuhkan untuk memperbaiki Infrastruktur dasar yang berasal dari pemerintah melalui DAU,DAK, Dekon tidak mencukupi, bahkan umumnya belanja pembangunan hanya 25 – 35 % dari APBD yang dibagi untuk 14 SKPD.
2. Untuk membangun infrastruktur dasar pemda dibolehkan meminjam dari pihak ke 3, tapi dibatasi dimana sebelum priode masa jabatan kepala daerah selesai hutang harus lunas. Berbeda bila dipergunakan untuk infrstruktur komersial yang menghasilkan, tenornya disesuaikan dengan kesepakatan perjanjian atau boleh melebihi masa jabatan kepala daerah. Pada hal kedudukan kepala daerah dimata hukum sama. Bukaknkah kalau proyeknya infrastruktur komersial tsb rugi pemda harus menalangidari APBD, contoh PDAM atau beberapa BUMD yg pertama nya diprediksi untung.
3. Pada pasal obligasi daerah / municipal bond, hasil obligasi tidak dapat dipergunakan untuk infrastruktur dasar dan daerah yang menerbitkannya harus selama 3 tahun berturut turut mempunyai laporan keuangan wajar tanpa syarat. Adakah daerah yang dapat memenuhinya
4. PP 54/2005 hanya mencantumkan penerusan pinjaman yang dananya berasal dari luarnegeri, tidak mengatur penerusan pinjaman dari pemrintah, tapi hanya menyebutkan sumber pinjaman dari selain pemerintah yag bersumber dari dana dalam negeri.
5. PP54/2008, mukadimahnya TIDAK mempunyai “Roh” Otonomi Daerah seperti PP 54/2005 tapi hanya memakai UU no.1/2004 tentang perbedaharaan negara, yang dibuat sebelum disahkannya UU 32 dan 33/2004.
6. Seharusnya bukan terbit PP tapi permenkeu atau permedagri sebagaimana yang lain seperti permenkeu ttg Obligasi daerah dan juga permenkeu penerusan pinjaman luar negeri. Kiranya kita juga perlu mencari tahu motivasi terbitnya PP54/2008 dan kenapa nomor yang sama.
7. Pemusatan pengendalian PINJAMAN DALAM NEGERI ketangan pemerintah, mengeleminir otonomi daerah dan bertentangan dengan UU 32/2004, UU 33/2004 dan PP 38/2007 tentang Pembagian Tugas dan wewenang Pemerintahan, serta bertentangan juga dengan PP 50/2007 tentang Tataca Kerjasama Antar Daerah.
Dengan kerendahan hati semoga dengan sedikit pencerahan diatas ada sahabat lain yang dapat meluruskan dan membantu Kepala daerah mencarikan solusi anggaran guna membangunan infrastruktur dasar untuk kesejahterahan saudara-saudara kita rakyat indonesia.
Adalah mimpi kalau kita mengharapkan investor akan memperbaiki atau membangun infarstukrtur dasar suatu daerah dengan memberikannya kesempatan bagi mereka berinvestasi di Indonesia. Apalagi yang ditunggu wahai para pemegang kebijakan, Indonesia Summit , IRIF hanya tinggal kenangan dan Food estate yang dharapkan adalah bukti nyata perlunya infrastruktur dasar.
Beri kebebasan Kepala Daerah berimprovisi dengan aturan yang jelas dan segera Pemerintah memperbaiki regulasinya.
Dan saudaraku , jangan salahkan Kepala Daerah kalau infrastruktur di daerah tertinggal tidak akan pernah selesai karena tidak ada yang bisa mereka perbuat.
Sebaik dan sehebat apapun kepala daerah, mereka akhirnya akan apatis dengan aturan yang ada
Sudah saatnya realita menjadi laporan BPS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H