Pandemi COVID-19 menimbulkan perlambatan dalam pergerakan ekonomi dunia. Hal ini diperparah oleh perang antara Rusia dan Ukraina sejak Februari lalu yang menyebabkan dinamika ekonomi global yang memicu peningkatan harga komoditas barang dan jasa serta beresiko menggangu stabilitas pasar ekonomi secara global.Â
International Monetary Fund dalam publikasinya World Economic Outlook (2022) mengeluarkan projeksi bahwa inflasi global akan marangkak naik sebanyak 6,6 persen di negara maju dan 9,5 persen di negara berkembang. Lantas bagaimana ketahanan dan dinamika ekonomi Indonesia dalam menghadapi resesi ekonomi di tahun depan?
Menurut Bank Dunia (2022), Indonesia mengakhiri tahun 2021 dengan pertumbuhan ekonomi sebanyak 3,7 persen. Momentum tersebut terbawa hingga kuartal pertama tahun 2022 dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen dan menyerap peningkatan kasus COVID-19 terkait gelombang varian Omikron yang singkat dan tajam.Â
Penggerak pertumbuhan ekonomi sejak akhir tahun 2021 telah diseimbangkan kembali secara bertahap dari ekspor dan konsumsi publik menjadi  konsumsi swasta dan investasi. Indonesia seperti ekonomi pasar berkembang lainnya, menghadapi kondisi pembiayaan eksternal yang semakin  ketat.
Defisit anggaran terlihat menyempit pada tahun 2021---dari 6,1 persen PDB pada tahun 2020 menjadi 4,6 persen pada tahun 2021---berkat pemulihan pendapatan dan perlambatan pengeluaran.Â
Tingkat utang pemerintah naik tipis dari 38,6 persen PDB menjadi 40,7 persen pada 2020-2021. Anggaran negara di tahun 2022  mengurangi  dukungan COVID-19 karena pihak berwenang memfokuskan kembali upaya pada perawatan kesehatan dan menangani dampak perang di Ukraina.Â
Kebijakan moneter tetap akomodatif dengan suku bunga nominal yang rendah. Kenaikan harga dan pengetatan keuangan eksternal menciptakan hambatan bagi kebijakan moneter, meskipun sikapnya telah sesuai dengan kondisi yang ada (Kementerian Keuangan, 2022).Â
Dari sisi domestik, Indonesia masih memiliki output gap yang negatif, ekspektasi inflasi yang tampak tertahan, serta sektor keuangan yang mulai mendukung sektor riil.Â
Subsidi energi eksplisit diproyeksikan meningkat dari 0,8 menjadi 1,1 persen dari PDB pada 2021-2022. Namun, subsidi implisit yang dibayarkan kepada PLN dan Pertamina sebagai kompensasi atas penjualan listrik dan bahan bakar di bawah harga pasar, diproyeksikan meningkat dari 0,7 persen dari PDB pada tahun 2021 menjadi 1,5 persen dari PDB pada tahun 2022.Â
Walaupun demikian, dapat kita lihat bahwa dampak negatif ekonomi global tidak begitu parah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Indonesia, hingga saat ini cukup mampu mengendalikan defisit anggaran dan pertumbuhan ekonomi yang kian tergerus. Akan tetapi, bukan berarti Indonesia mampu dikatakan berada di dalam "zona aman" resesi 2023.
Meningkatnya ekspektasi inflasi yang terus meningkat menciptakan hambatan bagi kebijakan moneter. Dengan semakin mengecilnya ruang kebijakan ekonomi makro, Bank Dunia (2022) mengeluarkan sebuah rekomendasi kebijakan yang menekankan kepada reformasi struktural yang membantu menghilangkan hambatan terhadap efisiensi alokatif perlu memainkan peran yang lebih besar untuk mendorong pertumbuhan ke depan.Â