Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi yang diharapkan dapat menjamin kesetaraan politik bagi seluruh masyarakat, termasuk bagi perempuan dalam dunia politik. Adapun ketetapan mengenai kesetaraan hak-hak lak-laki dan perempuan ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) yang menjelaskan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara. Indonesia pun menerapkan affirmative action dalam sistem pemilu, dimana terdapat aturan mengenai kuota pencalonan perempuan (minimal 30%) dan dimuat dalam UU No.12 Tahun 2003 yang diubah menjadi UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Kehadiran perempuan dalam politik masa kini menjadi tanda bahwa terdapat perjuangan politik yang lebih ramah perempuan dalam sistem demokrasi Indonesia. Meskipun demikian, kuota 30% dalam affirmative action belum pernah terpenuhi meskipun sudah mengalami peningkatan jumlah. Hal yang menjadi hambatan dalam pemenuhan kuota tersebut yaitu adanya stereotipe akibat konstruksi sosial, dimana terdapat pemikiran bahwa perempuan lebih baik melakukan pekerjaan rumah dan laki-laki yang dinilai kuat lebih pantas menjadi pemimpin. Anggapan yang sudah mengakar itu berdampak pada keterwakilan politik perempuan. Jarang bagi perempuan untuk ditempatkan pada posisi strategis dalam dunia politik.
Selain itu, hambatan pun terjadi dalam partai politik yang kurang melakukan sosialisasi politik terhadap perempuan, padahal seharusnya perlu peningkatan sosialisasi bagi perempuan agar mereka siap terjun dalam dunia politik dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Kemudian, kepemimpinan partai politik pun masih didominasi oleh kaum laki-laki yang hanya berfokus untuk memenangkan suara. Partai politik pun sering kali tidak transparan dalam melakukan rekrutmen politik untuk menyeleksi kandidat perempuan dan berpotensi memilih perempuan yang punya hubungan kekerabatan saja.
Secara hukum, affirmative action pun tidak selaras dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengemukakan bahwa perolehan kursi ditentukan dari jumlah suara terbanyak. Hal itu berpotensi mengakibatkan semakin rendahnya keterwakilan dalam parlemen. Kebijakan affirmative action telah dirancang untuk membuat perempuan memiliki landasan khusus dalam keterwakilan politik dan seharusnya tidak dilemahkan dengan keputusan yang cenderung tidak ramah perempuan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya akses bagi perempuan untuk berada dalam dunia politik sudah mulai terbuka lebar. Namun, dalam eksekusinya masih terdapat hambatan untuk merealisasikan keterwakilan perempuan yang memadai secara kuantitas dan prima kualitasnya.
Perlu adanya pembenahan mulai dari pemikiran masyarakat, peran partai politik, hingga kebijakan yang menguntungkan bagi gender perempuan dan laki-laki. Bagaimanapun juga, peran perempuan harus dimanfaatkan secara optimal dalam negara dan tidak dibiarkan hanya menjadi mayoritas dengan suara semu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H